JAKARTA — Uni Eropa melakukan negosiasi tertutup dengan Pemerintah Amerika Serikat terkait dengan ketentuan penghasilan perusahaan digital yang dikenai pajak. Perundingan ini dilakukan lantaran Benua Biru keberatan dengan proposal yang diajukan oleh Negeri Paman Sam.
Amerika Serikat (AS) dalam proposalnya menawarkan pengenaan pungutan lebih tinggi pada perusahaan dengan pendapatan tahunan setidaknya US$20 miliar.
Dalam usulan tersebut, perusahaan berpendapatan di atas ambang batas akan membayar lebih banyak dari tagihan pajak di tempat mereka beroperasi.
Sementara itu, para pejabat Eropa kurang antusias dengan usulan AS yang membatasi pungutan hanya untuk 100 perusahaan dengan pendapatan teratas.
Dilansir Bloomberg, Kamis (3/6), menurut sumber yang dekat dengan masalah ini, negosiator juga terus menawar ambang batas laba bagi perusahaan untuk pengenaan pajak, terutama tingkat yang akan memastikan Amazon.com, Inc. tetap terjaring meski memiliki margin keuntungan yang rendah.
Adapun menurut data yang dikumpulkan Bloomberg, menetapkan ambang pendapatan sebesar US$20 miliar akan menjaring lebih dari 500 perusahaan publik.
Mencapai kesepakatan tentang parameter pendapatan dan laba untuk perusahaan besar, termasuk juga berapa banyak keuntungan mereka untuk dialokasikan kembali, diperlukan untuk kesepakatan pajak yang lebih luas.
Ketentuan itu juga akan mencakup pajak minimum global atas laba perusahaan, yang telah diusulkan oleh AS minimal sebesar 15%.
Menurut proyeksi yang diterbitkan oleh Observatorium Pajak Uni Eropa, proposal itu akan menghasilkan pendapatan pajak lebih dari 48 miliar euro atau setara dengan US$59 miliar jika diterapkan tahun ini di Uni Eropa, dan hampir US$41 miliar di AS.
Di sisi lain, ketidaksepakatan yang masih ada menggarisbawahi sulitnya menemukan titik temu di antara hampir 140 negara yang terlibat dalam diskusi yang difasilitasi Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).
Para pejabat memperingatkan bahwa menteri keuangan negara G7 tidak diharapkan untuk mencapai kesepakatan tentang poin-poin spesifik ini selama pertemuan di London akhir pekan ini, dan lebih cenderung memberi sinyal kemajuan umum menuju kesepakatan di G20 dan OECD selama beberapa bulan ke depan.
“Saya pikir kami memiliki kesepakatan yang terlihat dan mudah-mudahan itu akan terjadi tahun ini,” kata Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria.
Upaya ini didorong oleh kekhawatiran negara-negara bahwa peraturan pajak saat ini tidak sesuai dengan cara perusahaan digital beroperasi, yaitu menjangkau pelanggan dan pengguna di negara-negara tanpa kehadiran fisik yang secara tradisional merupakan standar untuk dikenai pajak.
Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire mendesak negara-negara G7 untuk mendukung kesepakatan luas tentang pajak digital dan pajak minimum pada pertemuan di London Jumat pekan ini.
“Ini adalah langkah yang menentukan sebelum G20 di Venesia pada awal Juli. Itu dalam jangkauan. Kami berutang kepada warga kami,” kata dia.
Sekadar informasi, OECD menyiapkan dua pilar terkait dengan pajak digital. Pilar pertama dari rencana OECD membahas masalah pajak digital dengan memberikan bagian yang lebih besar dari keuntungan perusahaan ke negara-negara tempat perusahaan melakukan penjualan, bukan di tempat mereka berada.
Adapun pilar kedua yakni menetapkan tarif pajak perusahaan minimum global untuk mengakhiri persaingan tarif pajak antarnegara dan meningkatkan lebih banyak pendapatan.
Sejak proyek mulai mendapatkan momen-tum pada 2018, argumen tentang ruang lingkup aturan pilar pertama, yang menentukan perusahaan mana yang akan melihat keuntungan mereka dialokasikan kembali, telah membingungkan para negosiator.
Beberapa negara menginginkan aturan hanya berlaku untuk perusahaan teknologi, dengan alasan sistem aturan pajak saat ini tidak sesuai dengan model bisnis digital.
Namun AS menentang pendekatan itu karena akan mengikis pendapatan Negeri Paman Sam di mana bagian besarnya berasal dari bisnis digital.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia