JAKARTA — Pemerintah menghadapi risiko fiskal yang besar sejalan dengan membengkaknya belanja insentif perpajakan yang tidak diimbangi dengan performa penerimaan yang prima.
Risiko tersebut terefl eksi dari pelemahan penerimaan perpajakan, pelebaran defisit keseimbangan primer dan defisit anggaran, serta peningkatan rasio utang yang cukup tajam.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dalam Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal Edisi II 2021 yang terbit belum lama ini menyatakan pemerintah perlu menyeimbangkan pengelolaan fiskal antara upaya countercyclical dalam mendorong pertumbuhan.
“Selain itu juga, menjaga stabilisasi dan distribusi untuk menghindari opportunity loss dengan pengendalian risiko agar posisi fiskal tetap sustain dan terhindar dari insolvency,” tulis BKF dalam laporan yang dikutip Bisnis, Minggu (8/8).
Oleh sebab itu, konsolidasi fiskal wajib dilakukan, yakni dengan memangkas defisit dan pengendalian akumulasi utang untuk menjaga keberlanjutan fiskal.
Reformasi perpajakan juga penting untuk dilakukan yakni melalui perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan, serta penggalian potensi. Adapun reformasi belanja dilakukan dengan menguatkan spending better dan menerapkan zero based budgeting.
Sementara itu, Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah mengatakan pemerintah memang menghadapi dilema dalam menangani dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi dan ketahanan fiskal.
Di satu sisi pemerintah dituntut untuk mengumbar belanja untuk menekan dampak Covid-19. Namun di sisi lain otoritas fiskal memiliki keterbatasan sumber dana sejalan dengan seretnya penerimaan pajak.
Oleh sebab itu, pelebaran defisit tak perlu dihindari sehingga pemerintah memiliki keleluasaan untuk mengelola belanja di tengah tekanan ekonomi.
“Di banyak negara fiskal yang paling dikorbankan untuk mempercepat penanggulangan pandemi dan meningkatkan ketahanan ekonomi. Defisit melebar [tidak masalah] untuk menjaga ekonomi dengan mengeluarkan berbagai stimulus,” jelasnya.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia