Penyesuaian Tarif Kurang Progresif

Penyesuaian Tarif Kurang Progresif

JAKARTA — Perubahan skema pungutan untuk wajib pajak orang pribadi dinilai kurang progresif dan belum mampu menopang beratnya beban fiskal yang dipanggul pemerintah sejak ekonomi jatuh ke jurang resesi pada tahun lalu.

World Bank dalam laporan Indonesia Economic Prospects June 2021 berjudul Boosting The Recovery yang dirilis kemarin, menyorot strategi fiskal yang diterapkan oleh pemerintah.

Dalam laporan itu, World Bank mencatat reformasi pajak jangka menengah sangat penting untuk membantu memulihkan pendapatan serta meningkatkan ketahanan fiskal.

Salah satu poin yang diusulkan oleh lembaga tersebut adalah menurunkan nilai lapisan penghasilan kena pajak dengan tarif 30%. Artinya, tarif Pajak Penghasilan (PPh) 30% dikenakan atas penghasilan di bawah Rp500 juta.

Langkah tersebut diyakini mampu memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara dari sisi PPh orang pribadi.

Adapun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), pemerintah tidak mengubah lapisan dan besaran tarif untuk penghasilan kena pajak Rp500 juta ke bawah.

Adapun tarif 30% hanya digunakan untuk lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp500 juta—Rp5 miliar.

“Ada beberapa jalan untuk meningkatkan pendapatan dalam jangka menengah dan panjang. Salah satunya mengubah tarif pajak orang pribadi untuk pendapatan yang lebih rendah sehingga meningkatkan potensi penerimaan,” tulis World Bank dalam laporan yang dikutip Bisnis, Kamis (17/6).

Lembaga tersebut juga menyaran kan kepada otoritas fiskal untuk meningkatkan pengawasan terhadap masyarakat kaya dan superkaya guna menggali potensi penerimaan. Caranya adalah dengan membentuk tim pengawas khusus.

Sementara itu, pemerintah memiliki skema yang berbeda dibanding kan dengan usulan World Bank tersebut.

Alih-alih menggunakan batas tarif 30%, otoritas fiskal justru menambah satu lapisan tarif baru sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.

Dalam dokumen argumentasi RUU KUP yang diperoleh Bisnis, pemerintah beralasan lapisan baru ini disusun karena tarif saat ini kurang cukup progresif, sehingga kurang memberikan keadilan.

“Menambahkan satu lapisan tarif baru sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar,” tulis pemerintah dalam dokumen tersebut.

Persoalannya, signifikansi dari adanya lapisan baru itu sangat kecil mengingat populasi atau jumlah masyarakat kaya dan superkaya di Tanah Air sangat terbatas.

Hal itu pun diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat bersama Komisi XI DPR beberapa waktu lalu. Dia mengatakan perubahan lapisan penghasilan kena pajak beserta tarif PPh orang pribadi itu tidak berdampak besar pada masyarakat.

“Itu hanya sedikit sekali orang di Indonesia yang masuk dalam ke lompok ini. Mayoritas masyarakat kita tidak berubah dari sisi bracket-nya maupun tarifnya,” ujar Sri Mulyani.

Dalam ketentuan saat ini, sesuai dengan Pasal 17 UU PPh, ada 4 tingkat penghasilan kena pajak dengan besaran tarif PPh yang berbeda-beda. Pertama penghasilan kena pajak sampai Rp50 juta dengan tarif 5%.

Kedua, penghasilan kena pajak di atas Rp50 juta–Rp250 juta dengan tarif 15%. Ketiga, penghasilan kena pajak di atas Rp250 juta–Rp500 juta dengan tarif 25%. Keempat, penghasilan kena pajak di atas Rp500 juta dengan tarif 30%.

TARIF FINAL

Selain menyorot tidak progresif nya skema PPh untuk wajib pajak orang pribadi, World Bank juga mengkritisi penerapan PPh final terhadap sejumlah sektor.

Di antaranya bunga atas deposito, konstruksi dan real estat, serta PPh final atas bunga obligasi, baik bagi wajib pajak dalam negeri maupun luar negeri.

Skema PPh final dinilai menggerus penerimaan negara dan skema ini hanya dinikmati oleh masyarakat kelas atas.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, kebijakan rezim final ini sebenarnya mengacu pada broad based taxation. Artinya, tarif pajak lebih rendah dengan ha rapan mampu memperluas basis pajak.

Secara teori, strategi ini masih cukup linier dengan semangat pemerintah untuk mendulang penerimaan. Dengan kata lain setoran pajak tak berubah kendati tarif dipangkas, selama basis pajak mampu diperluas.

Akan tetapi, menurut Fajry, teori ini tak lagi relevan di tengah tekanan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Dia mengambil contoh Amerika Serikat (AS) yang justru kembali menaikkan tarif, terutama untuk PPh Badan.

“Dengan adanya rezim PPh final ini, penerimaan pajak kita menjadi tidak optimal. Sangat penting untuk mempertimbangkan kembali rezim PPh Final,” kata dia.

Fajry berpendapat, untuk kondisi saat ini pemerintah perlu mempertimbangkan pemberlakuan tarif PPh final atas bunga deposito dan dividen.

Langkah ini mendesak dilakukan untuk menopang upaya otoritas fiskal dalam memburu wajib pajak strategis alias high wealth individual (HWI).

Dia menyontohkan PPh Final atas dividen yang seharusnya kelompok HWI dikenai tarif progresif dengan mengacu pada ketentuan PPh Pasal 17.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Share this post

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Need Help? Chat with us