JAKARTA — Upaya pemerintah untuk memulihkan ekonomi nasional masih tersendat. Hal itu tecermin dari realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Badan, yang menjadi potret kondisi konsumsi dan manufaktur terkini. Pada kuartal I/2021, kedua jenis pajak itu kompak merosot.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi Pajak Penghasilan (PPh) Badan pada tiga bulan pertama tahun ini jeblok hingga 40,48%.
Angka tersebut jauh lebih dalam dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu di mana pajak korporasi mencatatkan penurunan sebesar 13,5%.
Adapun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menjadi cerminan konsumsi masyarakat juga terpangkas. Pada kuartal I/2021 PPN dalam negeri tercatat hanya naik 4,11%, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal I/2020 yang mencatatkan pertumbuhan 10,27%.
Adapun secara total penerimaan pajak pada kuartal I/2021 hanya Rp228,1 triliun, turun 5,6% dibandingkan dengan kuartal I/2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berdalih, realisasi penerimaan pajak yang cukup seret ini disebabkan karena banyak korporasi di dalam negeri yang masih tertekan akibat pandemi Covid-19.
“Banyak korporasi di Indonesia belum sepenuhnya sehat, sehingga pembayaran pajak menurun,” kata Sri Mulyani, Kamis (22/4).
Menkeu menambahkan, jebloknya setoran PPh Badan disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama dampak dari perlambatan ekonomi yang terjadi sejak tahun lalu. Kedua adanya insentif pengurangan angsuran PPh 25 sebesar 50%. Ketiga penurunan tarif PPh Badan secara bertahap dari 25% menjadi 22%.
Sementara itu, terkait dengan penerimaan PPN yang terkikis, menurut Sri Mulyani disebabkan karena adanya transaksi tidak terulang serta peningkatan restitusi.
Namun demikian Menkeu menilai realisasi PPN pada kuartal pertama tahun ini cukup menggembirakan. Dengan mengacu pada data tersebut, dia mengklaim konsumsi di dalam negeri mulai menggeliat.
“Ini sudah positive growth. Memang ada faktor khusus yaitu transaksi tidak berulang dan kenaikan restitusi. Jadi penerimaan cash turun,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan kinerja PPN menjadi cerminan kondisi konsumsi di Tanah Air dan performa pajak.
Dia menambahkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan penerimaan PPN pada tiga bulan pertama tahun ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Pertama adanya pandemi, di mana pada awal tahun lalu Indonesia masih belum menghadapi hawar Covid-19. Kedua adanya pembatasan aktivitas sosial yang baru dirasakan sejak pertengahan tahun lalu.
Terlebih, pada tahun ini pemerintah makin mengetatkan aktivitas sosial melalui pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat berbasis mikro atau PPKM Mikro.
“Maret tahun lalu kita masih relatif normal, belum ada pembatasan sosial dan sebagainya. Jadinya kinerja penerimaan PPN kita seakan-akan buruk secara year on year,” kata dia.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menambahkan, konsumsi pada dua bulan pertama tahun ini memang sangat terpuruk.
Kemudian pada Maret konsumsi diproyeksikan membaik akibat tren yang muncul setiap menjelang Ramadan.
Namun pada kenyataannya, daya beli masyarakat masih terpukul. Hal inilah yang menurut Faisal menjadi penyebab tergerusnya setoran PPN selama tiga bulan terakhir.
“Pemulihan konsumsi masih lambat sekali, membaik tapi relatif lambat dan masih di bawah kondisi sebelum pandemi,” kata dia.
Jika pemerintah tidak bekerja keras membenahi konsumsi, kata Faisal, maka penerimaan pajak pada tahun ini akan tertekan cukup dalam. Sebab selama ini porsi PPh dan PPN dalam struktur penerimaan pajak di Indonesia cukup dominan.
“Kalau sekarang dilihat totalnya memang penerimaan agak membaik, tetapi itu didorong oleh cukai, bukan karena pajak PPN dan PPh yang menjadi kontributor terbesar,” ujarnya.
Per akhir bulan lalu, realisasi penerimaan bea dan cukai memang cukup positif yakni mencapai Rp62,3 triliun. Angka tersebut melejit hingga 62,7% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
BELANJA TUMBUH
Dari sisi belanja, hingga Maret lalu tercatat mencapai Rp523 triliun atau tumbuh 15,6% secara tahunan. Capaian itu terdiri atas belanja kementerian/lembaga (K/L) yang tumbuh 41,2%, sedangkan belanja non-K/L naik 9,9%, serta transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) 0,9%.
Dengan demikian, defisit anggaran hingga bulan lalu tercatat mencapai Rp144,2 triliun atau 0,82% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan angka defisit tersebut masih di dalam kendali pemerintah. “Jadi ini semua masih di dalam koridor yang bisa kita kontrol dan akan kita pantau terus,” kata dia.
Suahasil optimistis target defisit sepanjang tahun ini yang ditetapkan sebesar 5,7% dari PDB masih cukup rasional sejalan dengan berbagai upaya pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya melalui optimalisasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
“Kita ingat konteksnya Maret tahun lalu ada Covid-19 dan Januari—Februari belum ada pandemi. Namun pendapatan negara bisa tumbuh,” ujarnya.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia