JAKARTA — Penyerapan insentif yang ditujukan kepada pelaku usaha masih jauh dari harapan. Hingga 1 April lalu, realisasi penyerapan anggaran insentif fiskal bagi dunia usaha hanya mencapai 23,98% atau Rp14,02 triliun dari total alokasi senilai Rp58,47 triliun.
Fakta ini sungguh ironis, mengingat pemerintah meningkatkan alokasi insentif usaha dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021.
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 9/PMK.03/2021 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Covid-19, masa berlaku insentif dalam program PEN tahun ini tercatat sampai masa pajak Juni 2021.
Artinya, pemerintah tidak memiliki pilihan selain menggenjot penyerapan insentif bagi dunia usaha.
Selain untuk menjaga kredibiltas pengelolaan anggaran, serapan insentif yang maksimal juga bisa mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Sekadar informasi, total dana yang disiapkan untuk pos insentif usaha pada tahun ini mencapai Rp58,47 triliun.
Angka tersebut naik dibandingkan dengan total dana yang dialokasikan oleh pemerintah pada PEN tahun lalu yakni senilai Rp55,35 triliun.
“Ini sebagai insentif pelaku usaha dan menstimulasi permintaan masyarakat yang tertahan selama pandemi,” tulis data Kementerian Keuangan yang dikutip Bisnis, Rabu (21/4).
Kementerian Keuangan mencatat, insentif jenis ini diberikan dengan tiga tujuan utama. Pertama, untuk mendukung pelaku usaha. Kedua, mendorong konsumsi masyarakat. Ketiga, meningkatkan daya beli pegawai/karyawan.
Dari total Rp14,02 triliun yang terserap tersebut, porsi terbesar dimanfaatkan oleh wajib pajak badan dalam bentuk penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan mencapai 52,37%.
Adapun jenis insentif fiskal lain yang diberikan kepada pelaku usaha adalah PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), PPh Final UMKM DTP, dan pembebasan PPh 22 Impor.
Selain itu juga pengurangan angsuran PPh 25, serta pengembalian pendahuluan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sementara itu, kalangan pelaku usaha menilai seretnya penyerapan insentif pada tahun ini disebabkan karena sejumlah faktor. Di antaranya sosialisasi yang minim hingga proses pengajuan yang cukup rumit.
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengatakan permasalahan mendasar dari lemahnya daya serap itu adalah karena informasi yang masih minim.
“Selain itu juga jangkauan yang relatif terbatas, dan kemampuan eksekusinya yang kurang maksimal dari sisi pengusahanya,” kata dia saat dihubungi Bisnis.
Faktor penghambat lainnya menurut Ajib adalah adanya kebijakan perbankan yang memberatkan wajib pajak sehingga tidak bisa mengakses stimulus fiskal yang diberikan oleh pemerintah. Kondisi ini terjadi pada stimulus yang disalurkan melalui mekanis-me perbankan.
SELEKTIF
Terlebih, selama pandemi Covid-19 mayoritas perbankan di Tanah Air lebih selektif dalam menyalurkan pembiayaan kendati telah mendapatkan jaminan dari pemerintah.
“Karena kebijakan internal perbankan yang membutuhkan aspek prudent, sehingga tidak bisa termanfaatkan dengan optimal di dunia usaha,” ujar Ajib.
Oleh sebab itu, dia meminta kepada otoritas fiskal untuk memberikan jaminan kemudahan insentif, terutama yang melalui mekanisme perbankan dengan bantuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Kementerian Keuangan dan OJK harus membuat regulasi yang membuat fleksibilitas agar perbankan bisa melakukan deviasi kebijakan,” ujarnya.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menambahkan, hal yang sering menjadi persoalan dalam penyerapan insentif adalah informasi dan regulasi.
Dari sisi informasi, wajib pajak acap kali tidak mendapatkan petunjuk yang jelas dari pemerintah. Pun dari sisi regulasi yang sering membingungkan wajib pajak.
“Wajib pajak tidak mengambil insentif karena dua hal itu, tidak update peraturan tentang insentif karena ada jangka waktu yang ditetapkan,” kata Prianto.
Sementara itu, serapan insentif fiskal yang dikucurkan oleh pemerintah sepanjang 2020 terpantau rendah. Hal ini tecermin dalam laporan belanja perpajakan atau tax expenditure 2020 yang tercatat Rp228 triliun.
Angka tersebut turun sebesar 11,35% dibandingkan dengan capaian pada tahun sebelumnya yang tercatat mencapai Rp257,2 triliun.
Adapun insentif untuk jenis pajak PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 orang pribadi, dan resttusi PPN diberikan untuk membantu likuiditas dan kelangsungan dunia usaha.
Wajib pajak yang paling banyak memanfaatkan insentif selama pandemi Covid-19 adalah sektor perdagangan yang sebesar 47%, industri pengolahan 19%, dan sektor konstruksi sebesar 7%.
Pada tahun ini, pemerintah berkomitmen untuk melanjutkan pemberian insentif fiskal kepada pelaku usaha dengan penyaluran lebih selektif dan terukur serta memenuhi prinsip timely, targeted, and temporary.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan besaran belanja perpajakan tergantung pada kondisi pandemi di Tanah Air dan efektivitas penanganan oleh pemerintah.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia