Bisnis, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat Joe Biden merencanakan kenaikan pajak federal jumbo pertama sejak 1993 untuk membantu mendanai program ekonomi jangka panjang sebagai lanjutan dari UU bantuan pandemi.
Berbeda dengan stimulus Covid-19 senilai US$1,9 triliun, inisiatif berikutnya yang diperkirakan akan lebih besar, tidak hanya mengandalkan utang pemerintah sebagai sumber pendanaan.
Dilansir Bloomberg, Selasa (16/3), para penasihat utama tengah menyiapkan paket kebijakan yang mencakup kenaikan pajak badan (perusahaan) dan (individu) berpenghasilan tinggi, menurut sumber yang mengetahui masalah itu.
Utak-atik tarif pajak ini penuh dengan risiko politik di tengah ulah para pelobi yang selama ini membekingi setiap keringanan pajak.
Itu membantu menjelaskan mengapa perombakan kenaikan pajak yang diteken Bill Clinton pada 1993 lebih menonjol dari modifikasi apapun setelah itu.
Bagi pemerintahan Biden, rencana perubahan tarif merupakan peluang mendanai infrastruktur, pengendalian perubahan iklim, dan perpanjangan bantuan untuk orang miskin, sekaligus mengatasi apa yang disebut Demokrat sebagai ketidak-adilan sistem perpajakan.
Rencana itu juga akan menguji kemampuan Biden merayu Partai Republik dan kemampuan Demokrat untuk tetap bersatu.
“Biden memandang orang Amerika percaya kebijakan pajak harus adil, dan dia telah melihat semua pilihan kebijakannya melalui lensa itu,” ujar Sarah Bianchi, Kepala Kebijakan Publik AS di Evercore ISI dan mantan asisten ekonomi Biden.
Oleh karena itu, lanjutnya, Biden meletakkan fokus pada mengatasi perlakuan yang tidak setara antara pekerjaan dan kekayaan.
Gedung Putih diperkirakan akan mengusulkan serangkaian kenaikan pajak yang sebagian besar mencerminkan proposal kampanye Biden pada 2020.
Kenaikan pajak yang masuk ke dalam paket infrastruktur dan pekerjaan itu kemungkinan mencakup pencabutan sebagian UU perpajakan Presiden Donald Trump pada 2017 yang menguntungkan perusahaan dan individu kaya, serta sejumlah perubahan untuk membuat aturan pajak lebih progresif.
Beberapa usulan yang sedang dipertim-bangkan a.l. pertama, menaikkan tarif pajak perusahaan menjadi 28% dari 21%.
Kedua, mengurangi preferensi pajak untuk apa yang disebut pass-through businesses — bisnis yang tidak dikenakan pajak penghasilan badan, tetapi sebaliknya, keuntungan mereka mengalir ke pemilik atau anggota dan dikenai pajak penghasilan individu — seperti perseroan terbatas dan kemitraan.
Ketiga, menaikkan tarif pajak penghasilan individu yang berpenghasilan lebih dari US$400.000.
Keempat, memperluas jangkauan pajak properti. Kelima, tarif pajak keuntungan modal yang lebih tinggi untuk individu berpenghasilan minimal US$1 juta per tahun.
Berdasarkan analisis independen Pusat Kebijakan Pajak, kebijakan pajak Biden bisa menghimpun penerimaan US$2,1 triliun selama satu dekade meskipun pemerintahan Biden menargetkan lebih kecil.
Bianchi awal bulan ini menulis Kongres Demokrat mungkin menyetujui target US$500 miliar. Sejauh ini belum ada tanggal yang ditetapkan untuk mengumumkan kebijakan pajak Biden meskipun Gedung Putih mengatakan pengumuman akan menyusul penandatanganan RUU bantuan Covid-19.
Namun, rencana kenaikan pajak kemungkinan besar akan diadang oleh Partai Republik. Demokrat akan membutuhkan setidaknya 10 suara Republikan untuk mengubah RUU kenaikan pajak di bawah aturan reguler Senat.
Anggota Republik mengisyaratkan akan menyiapkan perlawanan.“Kami akan mengadakan diskusi besar tentang kesesuaian kenaikan pajak yang besar ini,” kata Pemimpin Minoritas Senat Mitch McConnell.
Dia memprediksi Demokrat akan mengejar RUU rekonsiliasi yang mengabaikan suara Partai Republik. Kevin Brady, Republikan teratas di House Ways & Means Committee, berpendapat kenaikan pajak capital gain sebagai kesalahan ekonomi yang mengerikan.
Sementara itu, legislator memiliki ide sendiri untuk reformasi pajak. Ketua Komite Keuangan Senat Ron Wyden ingin mengonsolidasikan keringanan pajak energi dan meminta investor untuk membayar secara teratur atas investasi mereka, termasuk saham dan obligasi yang belum direalisasikan keuntungannya.
“Seorang perawat membayar pajak dengan setiap gaji. Sebaliknya, seorang miliarder di pinggiran kota yang makmur dapat menunda pembayaran pajak bulan demi bulan ke titik di mana mereka punya cukup banyak opsi pembayaran pajak. Saya rasa itu tidak benar,” kata Wyden.
Senator Demokrat Elizabeth Warren mengajukan pajak kekayaan, sedangkan Ketua Komite Jasa Keuangan Rumah Maxine Waters mengatakan dia ingin mempertimbangkan pajak transaksi keuangan.
Jika disahkan, pajak Biden kemungkinan akan berlaku 2022 meskipun beberapa anggota parlemen dan pendukung Biden di luar pemerintahan berdebat untuk menundanya di tengah tingkat pengangguran yang tinggi karena pandemi.
SUARA PENGUSAHA
Di sisi lain, kelompok pelobi paling berpengaruh yang mewakili perusahaan-perusahaan AS di Washington memperingatkan Presiden Biden agar tidak menaikkan pajak korporasi untuk mendanai proyek infrastruktur besar-besaran.
Mereka berpendapat, menaikkan pajak akan merugikan AS secara ekonomi dan dapat melemahkan UU pajak.
“Saya dapat dengan mudah mengatakan bahwa dari perspektif komunitas bisnis, menaikkan tarif pajak perusahaan akan membuat perusahaan Amerika menjadi kurang kompetitif pada saat kami membutuhkan pemulihan ekonomi yang luas,” kata Kepala Petugas Kebijakan Kamar Dagang AS Neil Bradley, dikutip Financial Times.
Business Roundtable yang sebagian anggotanya perusahaan-perusahaan bluechipterbesar, juga menentang kenaikan pajak perusahaan untuk mendanai belanja infrastruktur.
Kelompok bisnis menyarankan bahwa alih-alih mendanai pengeluaran infrastruktur baru dengan menaikkan tarif pajak perusahaan, sumber pendapatan lain dapat dieksplorasi, seperti menaikkan tarif pajak gas federal yang bertahan 18,4 sen per galon sejak awal dasawarsa 1990.
Namun, hal itu akan menimbulkan tantangan politik tersendiri karena akan menghantam negara-negara bagian dengan sangat keras dan secara tidak proporsional memengaruhi rumah tangga berpenghasilan rendah.
CEO Ernts & Young (EY) Carmine Di Sibio mengatakan setiap kenaikan pajak perusahaan akan menjadi ancaman bagi bisnis AS karena akan membuat negara itu kurang kompetitif dan tarif pajak di tempat lain akan lebih menguntungkan.
“Saya pikir Presiden Biden harus berhati-hati soal tarif pajak perusahaan untuk memastikan bahwa kami tidak mendorong bisnis ke luar dari AS,” ujar Di Sibio.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia