Shortfall penerimaan pajak pada tahun ini diperkirakan dalam kendali otoritas fiskal sejalan dengan moncernya kinerja penerimaan per Agustus 2021.
Derasnya aliran penerimaan ini ditopang oleh pajak konsumsi, serta prospek cerah penerimaan hingga pengujung tahun, menyusul lonjakan harga komoditas.
Sejalan dengan positifnya performa pajak sepanjang tahun berjalan 2021, pemerintah menaikkan outlook penerimaan pada tahun ini dari sebelumnya Rp1.142,5 triliun menjadi Rp1.171,60 triliun.
Apabila mengacu pada target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 senilai Rp1.229,58 triliun dan outlook tersebut, shortfall penerimaan pajak pada 2021 hanya berada di angka Rp57,98 triliun.
Namun, berdasarkan penghitungan Bisnis, shortfall penerimaan pajak 2021 bisa senilai Rp93,11 triliun. Ini dengan memasukkan realisasi sepanjang Januari—Agustus 2021 senilai Rp741,30 triliun dan proyeksi September—Desember diasumsikan tidak jauh berbeda dengan tahun lalu yakni rerata Rp98,79 triliun per bulan.
Artinya, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi pada pengujung tahun ini yang masih belum cukup pulih, maka perkiraan penerimaan pajak berada di angka Rp1.136,47 triliun.
Kendati demikian, estimasi shortfall pajak pada tahun ini menjadi yang terendah setidaknya selama 5 tahun terakhir.
Pemerhati Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan angka shortfall penerimaan pajak berpotensi kian rendah jika ekonomi tidak menghadapi hambatan yang berarti.
“Kalau dari kinerja yang makin baik ini, shortfall kisaran Rp57,8 triliun—Rp20 triliun, dengan realisasi [penerimaan pajak] kisaran 95%—98% dari target,” katanya kepada Bisnis, Rabu (20/10).
Sebaliknya, menurut Fajry, shortfall berisiko kian melebar apabila pemerintah tidak tangkas dalam menangkal berbagai ancaman, terutama yang berkaitan dengan penyebaran virus corona.
Pasalnya, pandemi Covid-19 cukup memukul seluruh sendi-sendi bisnis sehingga berdampak terhadap kegiatan ekonomi yang bermuara pada tergerusnya penerimaan pajak.
“Hal yang pasti masih seputar pemulihan ekonomi risikonya. Jangan sampai terjadi gelombang ke tiga yang dapat mengganggu pemulihan,” ujarnya.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono mengatakan berkaca pada realisasi penerimaan per akhir Agustus lalu, kans pemerintah untuk mencapai sasaran pajak cukup terbuka.
Pasalnya, intervensi kebijakan melalui belanja perpajakan atau tax expenditure yang fokus pada komponen Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terbukti efektif.
Hal itu terefleksi di dalam lonjakan pertumbuhan PPN Impor yang mencapai 27,84% (year-on-year/YoY) dan PPN Dalam Negeri 12,59% (YoY). Keduanya masing-masing merupakan cerminan dari geliat manufaktur dan tingkat konsumsi masyarakat.
“Karena pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi oleh konsumsi dalam negeri, otomatis terobosan pemerintah bertujuan untuk menggairahkan lagi konsumsi di dalam negeri,” kata dia.
Artha Raya Consult memprediksi penerimaan pajak pada tahun ini berada di kisaran Rp1.140 triliun—Rp1.200 triliun. Dengan demikian, penerimaan pajak akan tumbuh di kisaran 6,5%—12,5% dibandingkan dengan realisasi tahun lalu.
Di sisi lain, Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo di dalam Laporan Tahunan 2020 yang dirilis awal pekan ini mencatat target penerimaan pajak pada 2021 senilai Rp1.229,58 triliun itu tumbuh 14,69% dibandingkan dengan realisasi pada tahun lalu.
Sasaran ini cukup menantang, mengingat secara alamiah pertumbuhan penerimaan pajak berada di angka 8%. Ini pun dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5% dan tingkat inflasi di level 3%.
Suryo Utomo di dalam laporan tersebut optimistis mampu merealisasikan target APBN 2021 kendati menghadapi beragam tantangan.
Pasalnya, sektor yang tumbuh cepat pada tahun ini memiliki kontribusi penerimaan pajak yang relatif kecil dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) yakni informasi dan komunikasi, industri makanan dan minuman, serta jasa kesehatan.
Adapun, sektor yang dominan terhadap penerimaan pajak tumbuh dalam jangka waktu menengah di antaranya jasa keuangan, industri batu bara dan migas, industri tembakau, serta perdagangan nonotomotif.
“Meskipun pertumbuhan target penerimaan pajak pada tahun ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, kami optimistis dapat tercapai dengan adanya peluang rebound sektoral serta optimalisasi data potensi yang ada,” kata Suryo.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia