JAKARTA — Insentif Pajak Penghasilan atau PPh diharapkan bisa menjadi stimulus bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk berekspansi.
Batasan omzet tidak kena pajak yang ditetapkan hingga Rp500 juta per tahun bisa menjadi ruang bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kapasitas usahanya.
Dalam keterangan tertulis, Minggu (17/10/2021), Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyatakan, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menjadi salah satu wujud keberpihakan pemerintah meningkatkan ketahanan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Lewat UU itu, pemerintah memberikan insentif kepada wajib pajak orang pribadi UMKM berupa batasan omzet tidak kena pajak hingga Rp500 juta per tahun.
Selama ini, wajib pajak orang pribadi UMKM membayar PPh dengan tarif final 0,5 persen sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23/2018. Febrio mencontohkan, pembebasan PPh untuk omzet Rp500 juta membuat pengusaha dengan peredaran bruto Rp2,5 miliar setahun hanya membayar PPh atas peredaran bruto Rp2 miliar.
Sementara pengusaha dengan peredaran bruto kurang dari Rp500 juta tidak perlu membayar PPh. ”Selama ini tidak ada batasan tersebut, (bagi mereka) yang penghasilannya Rp10 juta per tahun sampai Rp100 juta per tahun tetap kena PPh final,” ujarnya.
Ketentuan mengenai batasan omzet atau peredaran bruto tidak kena PPh merupakan klausul baru yang dimasukkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan akan berlaku mulai tahun pajak 2022.
Menurut Febrio, pengembangan UMKM menjadi pertimbangan pemerintah dalam mendesain APBN setiap tahun. Sebab, UMKM merupakan bagian yang penting bagi perekonomian dengan kontribusi sekitar 60 persen terhadap produk domestik bruto dan 97 persen tenaga kerja.
Selain mengatur batasan omzet tidak kena PPh, pemerintah berencana menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan mekanisme final kepada pelaku UMKM.
Pasal 9A Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengatur pengusaha kena pajak dapat memungut dan menyetorkan PPN terutang atas penyerahan barang dan jasa kena pajak dengan besaran tertentu atau disebut PPN final.
Mekanisme ini dibuat agar pelaku UMKM selaku pengusaha kena pajak tidak perlu melakukan mekanisme pajak keluaran-pajak masukan, tetapi cukup menerapkan tarif final dalam pemungutan PPN.
Sementara pengusaha kecil dengan peredaran bruto tak melebihi Rp4,8 miliar setahun dapat memilih untuk jadi pengusaha kena pajak atau tidak.
Besaran tarif yang diimplementasikan mulai 1 April 2022 itu akan dibanderol 1 persen, 2 persen, atau 3 persen dari peredaran usaha untuk jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu yang akan diatur lebih lanjut lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Febrio menegaskan, tarif itu lebih rendah daripada tarif PPN secara umum 11 persen.
”Saat ini pemerintah tengah menyusun PMK terkait agar UMKM dapat melakukan pungutan dan penyetoran PPN yang lebih rendah dari tarif PPN secara normal,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun menilai pengenaan PPN final terhadap UMKM bertolak belakang dengan semangat pemerintah dalam pembebasan PPh final terhadap UMKM dengan omzet kurang dari Rp500 juta per tahun. Meski PPN bisa direstitusi, upaya itu dinilai akan menambah pengeluaran.
Sumber: Harian Kompas