Sekali tepuk dua lalat. Peribahasa itu perlu diterapkan oleh pemerintah dalam memburu obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia(BLBI) di Singapura. Musababnya, peran Singapura tidak sebatas pada BLBI. Negara itu juga menjadi lumbung harta bagi peserta program Tax Amnesty.
Persoalannya, hingga saat ini pemerintah belum mengungkap realisasi harta yang berhasil dibawa pulang ke Tanah Air dari Singapura dalam program Pengampunan Pajak, 5 tahun silam itu.
Faktanya, Kementerian Keuangan mencatat sebagian besar harta yang dideklarasikan berada di negara tersebut, yakni Rp766,05 triliun. Singapura juga menjadi negara asal deklarasi harta paling besar.
Berdasarkan catatan Bisnis yang bersumber dari kajian otoritas fiskal saat merumuskan Tax Amnesty 2016, jumlah harta yang terkait dengan high net worth individual (HNWI) mencapai US$250 miliar.
Angka tersebut tak jauh beda dibandingkan dengan data yang diungkap oleh pejabat di perbankan swasta Singapura, yakni sekitar US$200 miliar dana yang tidak dideklarasikan kepada otoritas pajak.
Jika mengacu pada nilai tukar rupiah kala itu yang di kisaran Rp10.000 per dolar Amerika Serikat (AS), jumlah tersebut setara dengan Rp2.500 triliun. Dari angka itu, Rp2.000 triliun diperkirakan berada di Singapura.
Akan tetapi, deklarasi harta wajib pajak Indonesia yang berada di Singapura hanya Rp766,05 triliun. Artinya, ada selisih sekitar Rp1.030,9 triliun yang masih gelap.
Tak perlu muluk mengejar Rp1.030,9 triliun, otoritas fiskal sebenarnya bisa fokus memburu Rp766,09 triliun, yang secara sah wajib dikembalikan ke Tanah Air.
Namun, hingga saat ini, otoritas fiskal belum mempublikasikan tindak lanjut mengenai data tersebut.
Saat dihubungi Bisnis, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor tidak memberikan penjelasan mengenai hal itu.
Pun dengan Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Mekar Satria Utama, yang hingga berita ini ditulis tidak memberikan pencerahan.
Mengacu pada dokumentasi Bisnis, repatriasi pajak dari Singapura per Maret 2017 hanya senilai Rp83,6 triliun dari total repatriasi dalam program Tax Amnesty yang kala itu mencapai Rp140,5 triliun.
Duta Besar Indonesia untuk Singapura Suryopratomo menjelaskan, salah satu penyebab tidak maksimalnya repatriasi adalah karena terbatasnya instrumen investasi yang ada di Indonesia.
Dia menjelaskan, pada dasarnya peserta Tax Amnesty bersedia untuk melakukan repatriasi secara penuh.
Namun, investasi yang ada di dalam negeri dinilai kurang menarik karena return yang dihasilkan cukup terbatas.
“Sejauh ini yang menjadi pilihan obligasi pemerintah. Tetapi bukan berarti tidak mau repatriasi, mereka bersedia asal ada instrumen investasi yang menarik,” kata Suryopratomo kepada Bisnis, Selasa (14/9).
Adapun untuk investasi langsung, sejauh ini masih belum menjadi fokus dari peserta program tersebut. Musababnya, ekosistem investasi di Indonesia cukup menantang, mulai perizinan hingga hubungan industrial.
Memang, pemerintah telah melakukan perbaikan melalui UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Akan tetapi pembuktian dari implementasi penuh dari UU itu membutuhkan waktu yang tak singkat.
“Harapannya UU itu bisa memperbaiki iklim investasi. Pengusaha masih menunggu efektivitas dari seluruh perbaikan yang dilakukan pemerintah,” ujarnya.
Sekadar mengingatkan, Singapura memang beberapa kali mencoba untuk menghalang-halangi dipulangkannya dana hasil program Tax Amnesty.
Bisnis merekam, pada 2016 otoritas di negara itu merilis ketentuan wajib lapor transaksi mencurigakan atau suspicious transaction report (STR) yang disebut-sebut membuat masyarakat takut mengikuti Tax Amnesty.
Isu-isu lain sudah banyak beredar sebelumnya. Mulai dari kabar iming-iming status kewarganegaraan, hingga pembayaran uang tebusan oleh perbankan Singapura.
Kabar ini disiarkan dengan tujuan wajib pajak hanya ikut deklarasi dan mengabai kan repatriasi sehingga tidak ada risiko likuiditas.
Dipilihnya Singapura sebagai tempat parkir dana segar bukannya tanpa alasan. Negara itu memang sangat ramah terhadap investor, mampu menyediakan instrumen investasi yang beragam, serta tarif pajak yang rendah.
Sebagai gambaran, tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi di negara itu berkisar 2%—22%. Adapun di Indonesia, lebih tinggi yakni 5%—30%.
Inilah yang kemudian menja dikan Singapura sebagai suaka pajak favorit.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menilai, program Pengampunan Pajak pada 2016 memang tidak bisa dibilang sukses.
Selain tecermin dari tidak seimbangnya harta yang dideklarasikan dengan yang direpatriasi, indikasi gagalnya program itu juga terefleksi dari rencana program serupa yang digagas pemerintah melalui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
PENGUNGKAPAN ASET
Di dalam RUU tersebut Tax Amnesty jilid kedua diejawantahkan melalui offshore voluntary disclosure program (OVDP) atau program pengungkapan aset secara sukarela.
“Ketentuan tersebut [OVDP] menunjukkan kegagalan program Tax Amnesty 2016, terutama dalam mening kat kan database wajib pajak,” kata Prianto.
Ketentuan OVDP dianggap sebagai solusi untuk mengejar pajak dari praktik offshore tax evasion (OTE) berupa penggelapan ke luar negeri.
Faktanya, Ditjen Pajak menemukan banyak wajib pajak peserta Tax Amnesty yang belum mengungkapkan hartanya secara penuh. Akibatnya, pemerintah kehilangan potensi penerimaan yang cukup besar dari perilaku OTE.
Sebetulnya, Ditjen Pajak dapat saja mengejar pengemplang pajak OTE ini. Akan tetapi, aksi itu terkendala oleh rendahnya kepatuhan perbankan negara lain untuk menyediakan informasi.
Pemerintah pun tidak memiliki banyak pilihan untuk memaksimalkan repatriasi harta dari Singapura. Mau tak mau, program sukarela lagi-lagi menjadi andalan.
Namun demikian, pemerintah memiliki momentum yang tepat untuk kembali menarik harta peserta Tax Amnesty ke dalam negeri.
Koordinasi dan komunikasi yang intensif antara Satgas BLBI dengan perwakilan Singapura di Indonesia rasanya bisa dimanfaatkan untuk membawa pulang sisa-sisa program pengampunan pajak 5 tahun silam.
Ibarat kata, sambil menyelam minum air, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, atau sekali tepuk dua lalat.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia