ilustrasi sembako

Pajak Bahan Pokok & Kegamangan Pemerintah

Reaksi penolakan sejumlah kalangan terkait dengan rencana pemajakan bahan pokok, agaknya membuat otoritas fiskal gamang.

Kabar terkini menyatakan pemerintah akan membatalkan dijadikannya bahan pokok sebagai barang kena pajak (BKP) sebagaimana tertuang di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Sumber Bisnis yang dekat dengan otoritas fiskal mengatakan rencananya pemerintah akan tetap mengacu pada Pasal 4a UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Pasal 4a UU itu menyatakan jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah barang tertentu, salah satunya barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

Dengan kata lain, bahan pokok mendapat fasilitas pengecualian. Artinya, masyarakat tetap bisa mengonsumsi kebutuhan pokok tanpa dibebani dengan PPN sebagaimana yang selama ini berlaku.

Pada akhir pekan lalu pemerintah menyatakan akan menjadikan bahan pokok tetap sebagai BKP, tetapi mendapat fasilitas tidak dipungut PPN.

Adapun, dalam usulan sebelumnya, BKP atau jasa kena pajak (JKP) yang termasuk kebutuhan dasar tetap dikenakan tarif sebesar 5% atau 7%, lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif umum yang mencapai 12%.

Sumber Bisnis mengatakan dianulirnya substansi pemajakan atas bahan pokok didasari pada belum siapnya administrasi perpajakan untuk memungut PPN di sektor ini.

Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama menegaskan bahwa posisi sementara ini masih tetap seperti di dalam RUU KUP.

Artinya, bahan pokok dikenakan PPN tetapi akan dipilih mana yang akan dikenakan dan yang tidak dikenai tarif. Dengan kata lain, tidak seluruh jenis bahan pokok akan dikenai pajak.

“Kami juga sedang mendesain skema pengenaan PPN-nya, apakah tarif normal, tarif lebih rendah, atau tarif final. Kita tunggu saja hasil pembahasan RUU nanti,” katanya kepada Bisnis, Rabu (1/9).

Rencana pengenaan PPN terhadap bahan pokok adalah yang pertama kalinya dilakukan oleh pemerintah.

Dalam Pasal 4A ayat 2 huruf b UU No. 42/2009, pemerintah telah menetapkan 11 bahan pokok yang tidak dikenakan PPN.

Jenis bahan pokok tersebut meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

Pasal 4A ini sempat menjadi polemik karena dianggap multitafsir yang dapat membuka peluang pengenaan PPN terhadap barang bahan pokok di luar 11 jenis barang yang disebutkan dalam penjelasan UU tersebut.

Atas dasar itu, pada 2016 perwakilan konsumen dan pedagang komoditas pangan pasar tradisional meminta Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan uji materi atas penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU No. 42/2009.

Pada 2017, MK kemudian mengabulkan permohonan dengan menegaskan bahwa penjelasan Pasal 4A ayat (2) UU No. 42/2009 tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

Alhasil, dalam putusan No.39/PUU-XIV/2016, MK menyatakan barang kebutuhan pokok adalah barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Dengan demikian, barang kebutuhan pokok tidak terbatas pada 11 jenis saja.

Dari sisi administrasi perpajakan, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menilai, ditetapkannya bahan pokok sebagai BKP menimbulkan pekerjaan rumah yang sangat berat.

Musababnya, hal ini akan meningkat compliance costdari sisi penjual, yang harus berstatus pengusaha kena pajak (PKP), membuat faktur pajak, melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) PPN, serta menjalani pemeriksaan oleh petugas pajak jika wajib pajak mengajukan restitusi.

Adapun, dari sisi petugas pajak, administration costakan meningkat karena jumlah PKP dan pemeriksaan SPT PPN meningkat.

Risiko lain dari kebijakan ini adalah meningkatnya gugatan ke penegak hukum oleh wajib pajak.

“Jika terjadi tax dispute, potensi proses keberatan hingga peninjauan kembali ke Mahkamah Agung [MA] juga meningkat,” katanya.

Lead Adviser Prospera Rubino Sugana mengatakan pungutan atas bahan pokok berisiko meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia.

Sebab, kelompok masyarakat paling miskin menghabiskan hampir 60% dari pendapatan per kapita untuk mengonsumsi makanan.

“Mengenakan pajak pada bahan makanan yang tidak diolah [yang saat ini dikecualikan], bahkan dengan tarif rendah sekalipun, akan membebani pengeluaran kelompok miskin lebih besar dibandingkan dengan kelompok kaya,” katanya.

Menurutnya, perluasan basis pajak PPN seperti yang diusulkan dalam RUU KUP dengan struktur tarif PPN tunggal 10% atau 12%, dan mengecualikan bahan pokok dapat meningkatkan penerimaan lebih besar dan lebih adil.

Pengenaan tarif tunggal tersebut juga memiliki dampak yang lebih kecil terhadap peningkatan kemiskinan masyarakat di Indonesia ketimbang struktur PPN multitarif.

Pemerhati pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menambahkan, otoritas fiskal perlu memilah jenis bahan pokok yang mendapatkan fasilitas PPN.

Hal ini diperlukan guna mewujudkan keadilan pajak antara masyarakat miskin dan masyarakat kaya.

“Hanya jenis bahan kebutuhan pokok tertentu saja yang mendapatkan fasilitas,” ujarnya.

Pemajakan atas bahan pokok memang butuh pendalaman yang matang. Jangan sampai misi untuk meningkatkan penerimaan berujung pada membesarnya gelombang penolakan karena masyarakat merasa urusan perutnya terusik.

Lebih penting lagi, gejolak yang muncul berisiko mengikis kepercayaan publik terhadap kredibilitas pemerintah dalam mengelola anggaran.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Share this post

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Need Help? Chat with us