JAKARTA — Setelah memicu penolakan dari seluruh lapisan masyarakat, pemerintah akhirnya memberikan fasilitas tidak dipungut untuk bahan pokok dalam skema Pajak Pertambahan Nilai baru yang tertuang di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Perubahan skema pungutan untuk kebutuhan dasar masyarakat ini dilandasi oleh desakan banyak kalangan dan mempertimbangkan besarnya konsumsi untuk barang tersebut.
Dengan demikian, kebutuhan pokok tetap menjadi barang kena pajak (BKP) tetapi mendapatkan fasilitas dalam bentuk tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau PPN.
Hal ini berbeda dibandingkan dengan usulan sebelumnya, yaitu BKP atau jasa kena pajak (JKP) yang termasuk kebutuhan dasar tetap dikenakan tarif sebesar 5% atau 7%, lebih rendah dibandingkan dengan tarif umum.
Adapun, besaran tarif umum dalam skema PPN multitarif usulan pemerintah adalah sebesar 12%.
“Sembako [bahan pokok] yang memang benar-benar dibutuhkan masyarakat banyak justru akan kita fasilitasi [dengan] PPN tidak dipungut,” kata Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama, akhir pekan lalu.
Yoga menambahkan, kebijakan serupa juga berlaku terhadap jasa sektor pendidikan.
Adapun, untuk jasa kesehatan, pungutan PPN hanya dikenakan terhadap fasilitas medis yang tidak ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Pendidikan yang sifatnya dasar, jasa, dan pangan dasar tidak akan dikenakan PPN. [Ini dilakukan karena] kami mendengarkan suara masyarakat,” tegasnya.
Di sisi lain, Yoga menjelaskan bahwa dasar dari dijadikannya hampir seluruh jenis barang dan jasa sebagai BKP dan JPK karena C-Efficiency PPN di Tanah Air yang masih rendah yakni hanya 63,58%.
Artinya, pemerintah hanya bisa memungut 63,58% dari total potensi PPN yang bisa ditarik di dalam negeri.
Rencana pengenaan PPN terhadap bahan pokok adalah yang pertama kalinya dilakukan oleh pemerintah.
Dalam Pasal 4A ayat 2 huruf b UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8/1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah telah menetapkan 11 bahan pokok yang tidak dikenakan PPN.
Kesebelas jenis bahan pokok tersebut meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Pasal 4A ini sempat menjadi polemik karena dianggap multitafsir yang dapat membuka peluang pengenaan PPN terhadap barang bahan pokok di luar 11 jenis barang yang disebutkan dalam penjelasan UU tersebut.
Atas dasar itu, pada 2016 perwakilan konsumen dan pedagang komoditas pangan pasar tradisional meminta Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan uji materi atas penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU No. 42/2009.
Pada 2017, MK kemudian mengabulkan permohonan dengan menegaskan bahwa penjelasan Pasal 4A ayat (2) UU No. 42/2009 tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Alhasil, dalam putusan No.39/PUU-XIV/2016, MK menyatakan barang kebutuhan pokok adalah barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Dengan demikian, barang kebutuhan pokok tidak terbatas pada 11 jenis saja.
KURANG PROGRESIF
Sementara itu, Lead Adviser Prospera Rubino Sugana mengatakan, pungutan atas bahan pokok akan membebani pengeluaran kelompok miskin lebih besar dibandingkan dengan kelompok kaya, dan menyebabkan sistem PPN menjadi kurang progresif.
Pasalnya, kelompok masyarakat paling miskin menghabiskan hampir 60% dari pendapatan per kapita mereka untuk mengonsumsi makanan.
Sementara itu, kelompok masyarakat paling kaya hanya menghabiskan 30% dari pendapatan mereka untuk kebutuhan makanan atau pangan.
“Mengenakan pajak pada bahan makanan yang tidak diolah [yang saat ini dikecualikan], bahkan dengan tarif rendah sekalipun, akan membebani pengeluaran kelompok miskin lebih besar dibandingkan dengan kelompok kaya,” jelasnya.
Selain itu, Rubino menilai dampak terhadap kenaikan kemiskinan dari pengenaan skema multitarif juga akan lebih besar dibandingkan dengan tarif tunggal dan membebaskan bahan makanan yang belum diolah.
Menurutnya, perluasan basis pajak PPN seperti yang diusulkan dalam RUU KUP dengan struktur tarif PPN tunggal 10% atau 12% dan mengecualikan bahan pokok dapat meningkatkan penerimaan lebih besar dan lebih adil.
Pengenaan tarif tunggal tersebut juga memiliki dampak yang lebih kecil terhadap peningkatan kemiskinan masyarakat di Indonesia dibandingkan dengan struktur PPN multitarif.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia