ppn-persen

Target Pajak Konsumsi Meninggi

JAKARTA – Pemerintah menaikkan target Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah pada tahun depan, di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang menurunkan setoran pajak konsumsi.

Pandemi Covid-19 yang melanda sejak tahun lalu memukul keras sektor konsumsi sehingga berdampak kepada setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

Kedua jenis pajak itu merupakan potret aktivitas konsumsi masyarakat dan berkaitan langsung dengan daya beli.

Berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022, target PPN dan PPnBM ditetapkan senilai Rp552,3 triliun, naik sebesar 10,1% dari outlook 2021 yang senilai Rp501,8 triliun.

Padahal, total realisasi PPN dan PPnBM pada tahun pertama pandemi Covid-19 menghampiri Indonesia hanya senilai Rp450,3 triliun, atau terjun bebas 15,3% dibandingkan dengan perolehan 2019 yang mencapai Rp531,6 triliun.

Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2022, pemerintah menuliskan bahwa tingginya target setoran pajak konsumsi dilandasi oleh optimisme terkait dengan efektivitas pemulihan ekonomi.

“Peningkatan target pada 2022 di pengaruhi oleh peningkatan aktivitas ekonomi yang didukung upaya pemulihan ekonomi nasional yang telah dilaksanakan sejak 2020,” tulis pemerintah dalam RAPBN 2022 yang dikutip Bisnis, Senin (30/8).

Dokumen itu tertulis optimalisasi pencapaian target pada tahun depan juga didukung oleh sejumlah faktor, salah satunya perbaikan administrasi perpajakan berupa pengembangan fasilitas perpajakan online (e-service) seperti e-faktur dan e-bukpot.

Faktor lain adalah perluasan perusahaan yang menjadi wajib pungut PPN dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

Namun, peluang untuk mencapai target tersebut tetap mengacu pada perkembangan kondisi perekonomian serta realisasi pertumbuhan ekonomi pada tahun ini. “[Target itu] dengan memperhitungkan normalisasi pertumbuhan yang terjadi pada 2021,” tulis pemerintah.

PPN dan PPnBM acapkali dijadikan bantalan oleh pemerintah ketika kondisi ekonomi berada dalam krisis. Alasannya, setoran pajak dari korporasi atau Pajak Penghasilan (PPh) Badan dipastikan tergerus sejalan dengan seretnya perputaran roda ekonomi.

Pemerintah menggunakan teori klasik yaitu pemulihan konsumsi lebih cepat dibandingkan dengan penyehatan bisnis perusahaan.

Adapun, PPN dan PPnBM merupakan kontributor kedua penerimaan pajak pemerintah setelah PPh.

Para pakar perpajakan sepakat bahwa pajak berbasis konsumsi umumnya relatif cepat pulih. Kunci utama untuk dapat merealisasikan target penerimaan pajak pada 2022 adalah implementasi Undang-Undang (UU) tentang Perubahan Kelima Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Salah satu substansi yang diatur dengan detail dalam RUU tersebut adalah perubahan skema PPN dan PPnBM. Skema yang dimaksud yakni mengubah sistem tarif PPN dari sebelumnya tarif tunggal menjadi multitarif, serta menghapus PPnBM dan mengganti dengan penerapan tarif maksimal dalam skema multitarif tersebut, yakni sebesar 25%.

Hanya saja, pemerintah perlu mengantisipasi adanya pelebaran selisih penerimaan dari peleburan objek PPnBM ke dalam PPN. Pasalnya, perbedaan tarif yang berlaku terhadap kedua jenis pajak ini sangat mencolok.

Dalam RUU KUP, PPN diusulkan menggunakan skema multitarif dengan tarif umum sebesar 12%, sedangkan PPN untuk barang mewah di kisaran 15%—25%.

Adapun dalam UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 8/1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM, tarif pajak untuk barang mewah berada pada kisaran 10%—200%.

MENAMBAH BEBAN

Guna meningkatkan progresivitas sistem PPN, dapat dipertimbangkan untuk melanjutkan penerapan PPnBM terhadap barang dan jasa yang dianggap barang mewah.

Mengenakan tarif PPN yang lebih tinggi terhadap barang atau jasa mewah hanya akan menciptakan inefisiensi dan kerugian pada penerimaan.

PPN multitarif akan menambah beban administrasi perpajakan yang bahkan dalam sistem saat ini membutuhkan waktu lama untuk memproses restitusi PPN. PPN multitarif juga akan makin meningkatkan waktu pemrosesan restitusi yang nantinya berdampak pada melonjaknya biaya bisnis dan menciptakan inefisiensi yang lebih besar.

Sementara itu, Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai prospek konsumsi pada tahun depan masih cukup suram sejalan dengan belum maksimalnya penanganan pandemi Covid-19.

Untuk itu, dia menyarankan pemerintah menambah alokasi untuk program perlindungan sosial untuk memacu konsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah.

“Untuk kelas menengah atas, sentimen konsumsi lebih kepada bagaimana penanggulangan pandemi. Itu yang menstimulus konsumen kelas menengah atas,” ujarnya.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Share this post

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Need Help? Chat with us