Otoritas fiskal perlu tegas dan konsisten dalam upaya menggali potensi pajak dari sumber baru melalui alternative minimum tax. Di sisi lain, pemerintah juga perlu menyiapkan instrumen lain yang menjadi penunjang efektivitas dari skema pungutan itu.
Sikap tegas dan konsistensi pemerintah dibutuhkan lantaran pelaku usaha menolak skema yang tertuang di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) itu.
Alternative minimum tax (AMT) dikenakan kepada perusahaan yang mencatatkan rugi selama 5 tahun berturut-turut dengan menggunakan dasar pada penghasilan bruto. Tarif yang diusulkan adalah 1%.
Jika tak ada aral melintang, skema ini akan diterapkan pada 2022. Tentu saja, mulus atau tidaknya jalan menuju penerapan tergantung pada pembahasan di parlemen.
Akan tetapi, sejak awal kalangan pebisnis menolak pemajakan terhadap korporasi yang merugi ini. Terakhir, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menyuarakan hal senada dalam rapat di Komisi XI DPR, tengah pekan ini.
Dalam dokumen rapat yang diperoleh Bisnis, Hipmi menilai AMT berefek negatif bagi pengusaha muda berinvestasi jangka panjang.
Hal ini disebabkan terdapat bidang usaha yang pengembalian investasinya butuh waktu lama seperti petrokimia dan migas.
Oleh sebab itu, kumpulan pengusaha muda ini meminta pemerintah menyiapkan skema yang tepat agar kebijakan AMT tidak berujung pada kaburnya investasi asing.
Otoritas fiskal juga diminta memperjelas kriteria pengecualian, dengan dalih supaya tidak ada loopholes dan memberikan certainty ke pengusaha.
“Bagaimana dengan perusahaan startup yang tengah digemari anak muda? AMT harus dipastikan menyasar perusahaan asing yang melakukan tax evasion, bukan diterapkan pada perusahaan lokal,” tulis dokumen Hipmi yang dikutip Bisnis, Kamis (26/8).
Jika dipahami, pemerintah sebenarnya telah memberikan ruang pengecualian untuk pungutan jenis ini. Pertama bagi perusahaan yang belum berproduksi komersial.
Kedua secara natural kegiatan usaha merugi, misalnya karena kondisi tertentu seperti pandemi Covid-19. Ketiga mendapat fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) tertentu, misalnya tax holiday.
Argumentasi pelaku usaha tersebut juga cukup lemah. Perusahaan rintisan yang dijadikan “‘tameng” untuk meminta pengecualian rasanya kurang tepat.
Sebab dalam pelaksanaan AMT, pemerintah hanya menyasar korporasi besar. Sementara itu, perusahaan rintisan atau bahkan UMKM berada di luar radar, dan menikmati tarif PPh Final.
Jika memberikan pengecualian berdasarkan sektor tertentu, akan menimbulkan polemik dan memicu sektor lain untuk mendapat perlakuan serupa. Pengusaha tak boleh lupa bahwa selama ini telah mendapat perlakuan “manja” dari pemerintah.
Mulai insentif baik reguler maupun dalam rangka pandemi Covid-19, hingga relaksasi tarif PPh Badan dari 25% menjadi 22% pada 2020 dan 2021, dan menjadi 20% pada 2022.
Perlu diketahui, faktor utama yang mendorong pemerintah untuk menerapkan AMT adalah maraknya praktik penghindaran pajak, terutama melalui aggressive tax planning.
Mengacu pada data dari Tax Justice Network, Indonesia diperkirakan mengalami kerugian dari penghindaran pajak pada 2020 sebesar US$4.785 juta atau Rp69,34 triliun.
Selanjutnya, berdasarkan data internal Direktorat Jenderal Pajak, selama 2014—2020, kasus-kasus penghindaran pajak agresif cukup banyak dan sulit ditangani.
Ekonom Tax Center Universitas Airlangga Yanuar Nugroho menilai, AMT sudah saatnya diterapkan untuk menjaga penerimaan serta membantu kesinambungan fiskal.
Menurutnya, alasan merugi selama bertahun-tahun tidak logis. Dia menjabarkan, selama 2012—2019 jumlah wajib pajak yang melaporkan rugi menunjukkan peningkatan setiap tahunnya.
Adapun pada 2020 akibat adanya pandemi Covid-19, banyak wajib pajak yang melaporkan rugi untuk memanfaatkan beberapa fasilitas relaksasi.
Faktanya, perusahaan-perusahaan tersebut masih tetap mampu berjalan secara operasional, bahkan ada beberapa yang kemudian berekspansi. “Daripada kehilangan 100% pendapatan dari wajib pajak badan, lebih baik terapkan AMT.”
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Neilmaldrin Noor menjelaskan, AMT berfungsi sebagai kontrol dalam mengurangi aggressive tax planning serta meminimalisasi beban PPh terutang.
Ke depan, AMT berperan memastikan agar setiap perusahaan setidaknya membayar suatu nilai/angka/jumlah pajak minimum kepada negara, sehingga hal tersebut dapat menjadi pelindung dalam mengurangi praktik penghindaran pajak.
Dengan demikian walaupun wajib pajak merugi selama bertahun-tahun, AMT mampu memberikan jaminan kontribusi. “Sehingga tujuan mengurangi penghindaran pajak dan optimalisasi penerimaan negara dapat tercapai sekaligus dengan skema AMT ini,” kata dia.
PENUNJANG
Di sisi lain, untuk menjaga efektivitas AMT pemerintah perlu menyiapkan instrumen penunjang, yakni General Anti-Avoidance Rule (GAAR) dan Mandatory Disclosure Rule (MDR).
Melalui GAAR, otoritas pajak berwenang menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang, dalam hal wajib pajak melakukan satu atau gabungan transaksi yang bertujuan mengurangi, menghindari, dan/atau menunda pembayaran pajak.
GAAR pun telah diakomodasi dalam RUU KUP. Akan tetapi, skema ini hanya memberikan legalitas upaya optimalisasi penerimaan dari sisi pemerintah. Adapun transparansi dari sisi wajib pajak masih belum diakomodasi.
Oleh sebab itu, diperlukan skema MDR, yakni keterbukaan bagi seluruh pihak termasuk pemerintah, wajib pajak, konsultan pajak, kuasa hukum, dan lembaga keuangan.
Dalam hal ini, industri tidak hanya menyertakan peran kerahasiaan perbankan, juga peran negara tax haven atau low tax jurisdictions, dengan tujuan meningkatkan kepatuhan.
Pakar pajak Darussalam dalam rapat laporan rapat Komisi XI DPR mengatakan, AMT membutuhkan dukungan skema antipenghindaran GAAR dan MDR.
GAAR diperlukan untuk mencegah transaksi yang ditujukan untuk penghindaran pajak, sedangkan MDR dibutuhkan untuk mengetahui keterhubungan antara AMT dengan GAAR tersebut.
MDR sebenarnya sempat diwacanakan oleh pemerintah pada 2017—2018. Namun gagal diimplementasikan.
Mengingat tingginya kompleksitas penghindaran pajak dan terjalnya jalan implementasi AMT, rasanya otoritas fiskal harus mengabaikan nada sumbang, dan lebih fokus menyiapkan instrumen lain untuk menunjang efektivitas program ini.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia