JAKARTA — Kemudi konsolidasi fiskal 2023 yang diarahkan oleh pemerintah menghadapi tikungan tajam, mengingat seretnya penerimaan pajak serta derasnya kucuran insentif sejak pandemi melanda negeri ini. Jika reformasi tak dijalankan dengan cemerlang, konsolidasi fiskal terancam berbalik haluan.
Misi konsolidasi fiskal merupakan amanat dari UU No. 2/2020 dan terefleksi dalam normalisasi defisit anggaran, yakni di bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023.
Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2022 yang dirilis Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, batas bawah defisit anggaran pada 2023 ditetapkan sebesar 2,71% terhadap PDB, dan batas atas sebesar 2,97% terhadap PDB.
BKF mencatat, konsolidasi fiskal bisa terealisasi jika reformasi fiskal berjalan dengan lancar. Reformasi itu mencakup peningkatan pendapatan negara, penguatan spending better, dan pembiayaan yang inovatif serta sustainable.
Target defisit pada 2023 terbilang sangat berat. Pasalnya, prospek penerimaan pajak sejauh ini masih cukup suram.
Di sisi lain, pemerintah tidak bisa menahan belanja untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi yang kini telah beranjak dari resesi.
Belum lagi, tantangan dari Covid-19 yang masih mengancam fokus arah konsolidasi fiskal pada 2 tahun ke depan.
“Konsolidasi fiskal harus menjaga keseimbangan antara penguatan countercyclical untuk akselerasi recovery dengan pengendalian risiko untuk memeihara keberlanjutan fiskal,” tulis KEM-PPKF 2022 yang dikutip Bisnis, Minggu (15/8).
Kendati demikian, pemerintah berkomitmen untuk melakukan berbagai upaya agar defisit tetap berada di dalam target. Pengelolaan defisit dilakukan tanpa menahan alokasi belanja.
“Kami juga menjaga defisit agar tidak melebihi seperti yang ada di dalam UU APBN,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Sementara itu, kalangan pengamat menilai pemerintah terlalu tergesa-gesa dalam merancang konsolidasi fiskal.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, konsolidasi fiskal menghadapi tekanan dari kurang maksimalnya penanganan pandemi Covid-19 dan risiko sebaran pada tahun mendatang.
Hal yang menjadi pertanyaan kemudian adalah adanya kesan pemerintah terburu-buru untuk melakukan konsolidasi fiskal pada 2023, mengingat rintangan ekonomi pada 2022 cukup terjal.
Menurutnya, saat ekonomi masih berada pada jalur pemulihan, maka sokongan pemerintah dalam bentuk ekspansi fiskal masih sangat dibutuhkan.
“Konsolidasi fiskal diperlukan jika ekonomi sudah benar-benar membaik, itu pun target-targetnya juga harus rasional,” katanya.
Senada, Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menambahkan, berkaca pada kondisi saat ini, seharusnya kebijakan fiskal tahun depan masih ekspansif, dan pemerintah tidak terburu-buru melakukan konsolidasi.
Jika fiskal masih ekspansif, kondisi ekonomi pada 2022 bisa kembali normal seperti sebelum pandemi. Hal ini, menurutnya, hanya bisa dilakukan jika instrumen fiskal bekerja dengan maksimal.
Yusuf menyarankan agar konsolidasi fiskal dilakukan secara bertahap sembari menunggu efektivitas dari berbagai program pemulihan ekonomi. “Konsolidasi bisa dilakukan secara bertahap pada 2023,” ujarnya.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia