JAKARTA — Lemahnya pengawasan dan sistem informasi di otoritas pajak berdampak pada maraknya transaksi mencurigakan yang terkait dengan tindak pidana perpajakan. Pada kuartal I/2021, transaksi gelap di bidang ini tercatat mencapai 993 kasus.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, jumlah tersebut naik dibandingkan dengan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang terkait dengan tindak pidana perpajakan pada kuartal I/2020, yakni 422 transaksi.
Secara terperinci, jumlah “transaksi hitam” di bidang perpajakan pada Januari 2021 sebanyak 133, kemudian naik menjadi 338 transaksi pada bulan berikutnya, dan 522 transaksi pada Maret lalu.
Jumlah LTKM pada Maret tahun ini menjadi yang terbanyak dalam setahun terakhir. “Mayoritas transaksi keuangan mencurigakan pada Maret 2021 terjadi di DKI Jakarta dan Keplauan Riau,” tulis data PPATK yang diterima Bisnis, Kamis (12/8).
Sekadar informasi, kategorisasi transaksi keuangan mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan.
Kategori lain adalah transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Pihak pelapor yang wajib melaporkan ke PPATK adalah penyedia jasa keuangan seperti perbankan, asuransi, perusahaan efek, maupun penyedia barang dan jasa lainnya.
“Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, penyedia jasa keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK,” tulis laporan tersebut.
Selama Januari—Maret 2021, PPATK menyusun hasil analisa sebanyak 22 laporan yang telah diserahkan kepada Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.
Adapun, sejak 2003—Maret 2021 PPATK telah menyampaikan informasi hasil analisa sebanyak 3.284 laporan.
Dari jumlah tersebut, informasi hasil analisa terbanyak disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni 718 laporan atau 21,9%, dan terbanyak kedua adalah Ditjen Pajak yakni 443 informasi hasil analisa atau 13,5%.
Bisnis mencatat, transaksi gelap di bidang perpajakan terus meningkat. Pada tahun lalu, LTKM di sektor ini mencapai 1.602 transaksi, naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni 1.481 LTKM.
Data LTKM tersebut mendukung temuan PPATK sebelumnya, di mana potensi penerimaan negara dari tindak pidana pencucian uang (TPPU) di sektor perpajakan pada tahun lalu mencapai Rp20 triliun.
Dari jumlah tersebut, dana senilai Rp9 triliun berhasil masuk ke kantong negara setelah dilakukan pemanfaatan hasil analisa dan pemeriksaan oleh PPATK.
Catatan sepanjang 2020 itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 2019. Selama 1 Januari—11 Desember 2019, dana yang masuk ke negara setelah dilakukan pemanfaatan hasil analisa dan pemeriksaan hanya Rp4,97 triliun.
Kendati berhasil mengamankan dana negara senilai Rp9 triliun, sebenarnya capaian ini bukanlah sebuah prestasi. Makin meningkatnya dana yang berhasil diamankan justru mengindikasikan bahwa praktik pencucian uang di bidang perpajakan masih marak.
Sementara itu, Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang diperoleh Bisnis, selama 2016—2020 praktik tindak pidana pencucian uang di bidang perpajakan yang telah P21 atau lengkap dan dilimpahkan ke kejaksaan sebanyak delapan kasus.
Dari jumlah tersebut, lima di antaranya telah diputus bersalah oleh majelis hakim.
Adapun pada tahun lalu, pemerintah telah menangani empat kasus tindak pidana pencucian uang di bidang perpajakan dengan nilai kumulatif Rp8,9 miliar.
UPAYA DITJEN PAJAK
Menanggapi hal ini, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor menjelaskan, otoritas pajak melakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi praktik gelap ini.
Di antaranya peningkatan kompetensi pegawai dan pengembangan struktur organisasi, serta pembaharuan sistem informasi melalui program Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) untuk mengurangi dan mencegah tindak pidana perpajakan.
Pertukaran data melalui Automatic Exchange of Information (AEoI) juga menjadi salah satu upaya dalam menangani transaksi terkait tindak pidana perpajakan.
“Melalui AEoI dapat ditemukan transaksi yang berpotensi menjadi tax avoidance dan tax evasion oleh wajib pajak,” kata dia.
Neil menambahkan, antisipasi lain adalah merumuskan Alternative Minimum Tax (AMT) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Menurutnya, AMT dapat menjadi kontrol dalam mengurangi perencanaan pajak yang agresif serta meminimalisasi beban Pajak Penghasilan (PPh) terutang.
“AMT berperan untuk memastikan agar perusahaan membayar suatu nilai/angka/jumlah pajak minimum kepada negara, sehingga hal tersebut dapat menjadi pelindung dalam mengurangi praktik penghindaran pajak,” jelasnya.
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Ajib Hamdani menilai, ada tiga hal yang bisa dilakukan otoritas pajak untuk meminimalisasi transaksi keuangan mencurigakan.
Pertama penegakan regulasi terutama pengetatan transaksi, underline project dan identitas pemakai dana. Kedua memperluas sumber informasi yang sejauh ini hanya fokus pada data perbankan.
Ketiga adalah pembentukan Single Identification Number (SIN) yang valid dan terintegrasi. “Dengan pola ini, maka transaksi akan makin terdeteksi dan menghindari shadow economy,” ujarnya.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia