JAKARTA — Pemajakan atas ekonomi digital tinggal menunggu waktu. Menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 telah sepakat untuk mendukung penerapan solusi berbasis konsensus dua pilar yang sebelumnya disetujui oleh 132 dari 139 negara anggota OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting.
Ini sekaligus momen bersejarah yang bakal mengubah platform perpajakan internasional, serta membuka gerbang pemajakan atas perusahaan digital yang ada di Tanah Air.
Selanjutnya, detail teknis dari kedua pilar tersebut akan difinalisasi pada pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 Oktober 2021.
Persetujuan ini akan ditandandatangani pada tahun depan dan diberlakukan secara efektif pada 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kesepakatan ini memperlihatkan kemampuan pendekatan multilateralisme dalam mengatasi tantangan global, khususnya terkait dengan Base Erosion Profit Shifting (BEPS).
Titik terang ini juga menjadi langkah untuk mengantisipasi persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau race to the bottom, serta menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif.
“Bagi Indonesia, kesepakatan yang dihasilkan dari upaya yang besar ini sangat penting. Hal ini selaras dengan reformasi perpajakan yang saat ini sedang dilakukan, khususnya di area perpajakan internasional, sebagaimana diusulkan di dalam RUU KUP,” kata Sri Mulyani, Kamis (15/7).
Dia menambahkan, kesepakatan ini juga menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk mulai mendulang penerimaan dari aktivitas dalam jaringan (daring), yang sejak setahun terakhir cukup berkembang sejalan dengan pandemi Covid-19.
Menurutnya, pemerintah akan mengakselerasi transformasi digital ini dengan meningatkan investasi dan menyusun kerangka regulasi dengan didukung upaya menjaga keamanan data masyarakat, serta kesamaan perlakuan atau playing field.
“Akselerasi transformasi digital akan meningkatkan produktivitas, sehingga dapat menundukung percepatan pemulihan,” ujarnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menambahkan, tercapainya kesepakatan ini menunjukkan keberhasilan pendekatan multilateralisme dalam mengatasi tantangan digitalisasi dan globalisasi ekonomi, khususnya terkait penanganan BEPS.
BEPS merupakan salah satu tantangan pemajakan yang dialami oleh negara-negara di dunia akibat adanya praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional.
Praktik ini dilakukan dengan merancang perencanaan pajak secara agresif sehingga menimbulkan hilangnya potensi penerimaan negara.
Dia mencatat, kerugian potensi pajak negara-negara secara global diperkirakan sebesar US$100 miliar—US$240 miliar, atau setara dengan 4%—10% terhadap produk domestik bruto (PDB) global.
Febrio menjelaskan dengan kesepakatan Pilar 1, Indonesia sebagai salah satu negara pasar dari perusahaan multinasional, berkesempatan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima perusahaan multinasional Syaratnya, kata Febrio, perusahaan multinasional tersebut berskala besar yakni minimal 20 miliar euro dan memiliki tingkat keuntungan yang tinggi minimal 10% sebelum pajak.
“Berdasarkan batasan atau threshold tersebut, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Indonesia,” kata Febrio.
Sebelum adanya kesepakatan Pilar 1, negara pasar dapat memajaki suatu perusahaan multinasional hanya bila perusahaan tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) sehingga menyebabkan kesulitan atau kecilnya kemungkinan untuk memajaki.
Namun dengan adanya kesepakatan Pilar 1, hak pemajakan negara pasar tidak lagi terkendala ketentuan terkait BUT tersebut.
Adapun kesepakatan Pilar 2 ditujukan untuk mengatasi isu BEPS lainnya dengan memastikan perusahaan multinasional dengan minimal omzet konsolidasi sebesar 750 juta euro membayar Pajak Penghasilan (PPh) dengan tarif minimal 15% di negara domisili.
Pilar 2 ini menghilangkan adanya persaingan tarif pajak yang tidak sehat sehingga menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif.
Dengan batasan atau threshold tersebut, kata Febrio, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan tambahan pajak dari perusahaan multinasional berdomisili di Indonesia.
INSENTIF PAJAK
Di sisi lain, Febrio menjelaskan bahwa Pilar 2 berdampak terhadap kebijakan insentif PPh yang diterbitkan pemerintah.
Desain insentif perpajakan, khususnya dengan penerapan tarif pajak efektif kurang dari 15%, harus disesuaikan dengan Pilar 2 tersebut.
Menurutnya, pemerintah tidak lagi dapat menerapkan insentif pajak dengan tarif yang lebih rendah dari 15%. Dengan ketentuan ini, keputusan investasi tidak lagi berdasarkan tarif pajak, tetapi faktor fundamental.
“Pemerintah cukup optimistis bahwa investasi di Indonesia tetap akan bertumbuh seiring dengan percepatan dan penguatan reformasi struktural yang berdampak positif pada peningkatan iklim usaha”, kata Febrio.
Sistem perpajakan internasional yang baru ini selaras dengan semangat reformasi perpajakan nasional yang di antaranya bertujuan untuk meningkatkan basis pemajakan secara adil.
Bagi emerging countries seperti Indonesia, hal ini penting untuk mengoptimalisasi sumber penerimaan.
Sebab, salah satu rendahnya rasio pajak terhadap PDB adalah belum mampunya sistem pemajakan menangkap peningkatan aktivitas ekonomi, termasuk maraknya praktik BEPS.
Berkaca pada data Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), 60%—80% perdagangan internasional merupakan transaksi afi liasi perusahaan multinasional yang ditujukan untuk menghindari pajak dengan cara memindahkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah.
Adapun di Indonesia, laporan wajib pajak menunjukkan bahwa 37%—42% PDB merupakan transaksi afiliasi.
“Bila dibiarkan, hal ini tentunya merugikan bagi perpajakan Indonesia. Dengan adanya tambahan hak atas pemajakan dalam kedua pilar, basis pajak Indonesia akan meningkat”, jelas Febrio.
Sesungguhnya, pemerintah memiliki legalitas yang kuat untuk memungut PPh perusahaan digital melalui UU No. 2/2020. Namun demikian, pemerintah memilih untuk menunggu konsensus.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia