Untuk mendukung dunia usaha yang terdampak pandemi, pemerintah memberikan berbagai insentif pajak. Saat nanti ekonomi sudah pulih, pemerintah akan kembali menggenjot penerimaan pajak.
JAKARTA, KOMPAS — Sistem perpajakan di Indonesia menjadi simbol gotong-royong sekaligus instrumen untuk menciptakan keadilan. Saat perekonomian terpuruk, pemerintah akan menggelontorkan insentif pajak untuk menopang dunia usaha. Pemerintah akan kembali memacu penerimaan pajak untuk tujuan pembangunan apabila dunia usaha telah pulih.
”Kita ketahui sejak 2020 saat pandemi Covid-19 mulai terjadi, APBN menjadi instrumen yang luar biasa strategis dan penting untuk menangani pandemi, melindungi masyarakat dan memulihkan ekonomi,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam upacara peringatan Hari Pajak 2021 yang berlangsung secara virtual, Rabu (14/7/2021).
Sri Mulyani menjelaskan, untuk mendukung dunia usaha yang terdampak pandemi, pemerintah memberikan berbagai insentif pajak, antara lain, insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sektor properti, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, restitusi PPN dipercepat, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) bagi sektor otomotif, dan pembebasan PPh Pasal 22 impor.
Namun, saat perekonomian mulai pulih, satu per satu insentif pajak nantinya akan dicabut. Selanjutnya, penerimaan pajak akan kembali digenjot untuk melanjutkan pembangunan negara.
Sri Mulyani menegaskan, reformasi perpajakan adalah kunci untuk memperbaiki penerimaan negara. Dalam perjalanannya, perpajakan Indonesia telah melakukan reformasi sejak tahun 1983. Hasil reformasi saat itu adalah mengubah sistem pemungutan pajak yang berdasarkan official assessment menjadi self assessment.
Saat ini, pemerintah bersama DPR sedang membahas upaya reformasi perpajakan tahap selanjutnya yang juga dipengaruhi oleh tren perubahan global. Sebagai negara yang terhubung dengan perekonomian global, Indonesia dihadapkan pada kompetisi sekaligus kolaborasi.
”Sistem perpajakan kita harus terus kita perkuat dan desain ulang menyesuaikan perubahan global dan perubahan di dalam negeri,” ujar Sri Mulyani.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menyampaikan, dalam setahun terakhir, lembaganya fokus untuk meningkatkan serapan insentif pajak, penerimaan PPN perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), dan perubahan struktur organisasi vertikal.
Jika diakumulasikan sejak April 2020, realisasi insentif pajak hingga bulan Juni 2021 telah mencapai Rp106,62 triliun. Insentif pajak ditujukan untuk dunia usaha, sektor kesehatan, industri otomotif, dan sektor properti yang menjadi bagian dari program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Insentif tersebut membuat dunia usaha tetap bisa bertahan pada masa pandemi.
Penerimaan PPN PMSE sebesar Rp2,38 triliun. Nilai tersebut terdiri dari penerimaan PPN PMSE tahun 2020 sebesar Rp731,4 miliar dan semester I-2021 sebesar Rp1,65 triliun. Sejak penunjukan pemungut PPN PMSE gelombang pertama pada bulan Juli 2020 hingga gelombang sebelas pada bulan Juni 2021, terdapat 75 pelaku usaha yang menjadi pemungut PPN-PMSE.
Dihubungi secara terpisah, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan, lonjakan kasus Covid-19 yang memaksa pemerintah menerapkan PPKM darurat dipastikan bakal memukul kinerja penerimaan pajak. Penurunan aktivitas ekonomi masyarakat otomatis akan diikuti dengan penurunan penerimaan pajak.
Seiring diterapkannya PPKM darurat, Kementerian Keuangan memproyeksikan penerimaan pajak tahun 2021 sebesar Rp1.176,3 triliun atau 95,7 persen dari target APBN 2021 senilai Rp1.229,6 triliun. Dengan demikian, akan terjadi shortfall penerimaan pajak senilai Rp53,3 triliun.
Dibandingkan dengan tahun 2020, penerimaan pajak tahun 2021 diproyeksikan tumbuh 9,7 persen, dari Rp1.072,1 triliun menjadi Rp1.176,3 triliun.
Globalisasi
Sri Mulyani juga mengatakan, perubahan global seperti teknologi digital yang semakin mendominasi dan perubahan iklim harus direspons secara tepat. Teknologi digital telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dan bertransaksi sehingga sistem perpajakan perlu diperkuat.
Menurut Sri Mulyani, perundingan global terkait pajak digital mengindikasikan sinyal positif. Jika disepakati, pemerintah bisa mulai menarik Pajak Penghasilan (PPh) atas perusahaan digital asing seperti Google dan Netflix.
Pada pertemuan negara-negara G-20, pekan lalu, lanjutnya, seluruh anggota menyetujui adanya prinsip pemajakan penghasilan perusahaan digital. Namun, pembahasan tersebut masih belum final karena masih akan dibahas pada pertemuan G-20 selanjutnya dan pertemuan negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
”Untuk PPh, kemarin G-20 sudah ada agreement secara prinsipil. Namun, itu masih akan dituangkan dalam agreement yang sifatnya detail sampai bulan Oktober 2021,” katanya
Alat kesehatan
Salah satu bentuk dukungan pajak terhadap penanggulangan pandemi Covid-19 adalah aturan yang membebaskan pajak impor alat-alat penunjang medis dan kebutuhan kesehatan.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.04/2021 tentang Perubahan Ketiga atas PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Untuk Keperluan Penanganan Pandemi Covid-19 yang mulai berlaku pada 12 Juli 2021.
Kelompok barang yang dibebaskan dari pajak impor meliputi peralatan uji reagen laboratorium, virus transfer media, obat-obatan, peralatan medis dan kemasan oksigen, serta alat pelindung diri (APD).
Obat-obatan yang masuk dalam pembebasan, antara lain, favipiravir, oseltamivir, remdesivir; obat mengandung regdanvimab; insulin; lopinavir; ritonavir; tocilizumab, dan intravenous imunoglobulin. Adapun masker respirator N95 termasuk kelompok APD yang masuk dalam barang yang dibebaskan tarif impor.
Sementara kelompok peralatan medis dan kemasan oksigen di antaranya oksigen yang dikemas dalam silinder baja, isotank, termometer, regulator tekanan, konsentrator oksigen, generator oksigen, ventilator, dan alat ukur suhu.
Sumber: Harian Kompas