obyek pajak

Peleburan Objek Pajak Berisiko

JAKARTA — Pemerintah perlu mengantisipasi adanya pelebaran selisih penerimaan dari peleburan objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah ke dalam Pajak Pertambahan Nilai. Pasalnya, perbedaan tarif yang dikenakan terhadap kedua jenis pajak itu diketahui cukup mencolok.

Rencananya, kelompok barang mewah di luar kendaraan bermotor akan dihapus di dalam objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan akan dikenai tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Gagasan tersebut terakomodasi di dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Persoalannya, perbedaan tarif yang berlaku terhadap kedua jenis pajak tersebut sangat mencolok. Dalam RUU KUP, PPN diusulkan menggunakan skema multitarif di mana tarif umum sebesar 12%, sedangkan PPN untuk barang mewah di kisaran 15%—25%.

Adapun dalam UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 8/1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM, tarif pajak untuk barang mewah berada pada kisaran 10%—200%.

Risiko adanya selisih penerimaan ini pun telah dicatat di dalam Naskah Akademik RUU KUP oleh pemerintah. Akan tetapi, sejauh ini belum ada rencana konkret yang bisa mengompensasi adanya selisih tersebut.

“Mengingat selisih pertambahan tarif PPN tidak setinggi pengenaan tarif PPnBM, maka terjadi selisih penerimaan negara yang cukup signifikan dari berkurangnya objek PPnBM,” tulis pemerintah dalam Naskah Akademik RUU KUP yang dikutip Bisnis, Senin (12/7).

Sementara itu, implementasi perubahan skema pengenaan PPnBM atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah menjadi pengenaan tarif PPN yang lebih tinggi akan diberlakukan melalui dua tahapan.

Pertama, pengenaan tarif PPN yang lebih tinggi akan diberlakukan bagi kelompok BKP yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor.

Melalui skema ini, Direktorat Jenderal Pajak menghitung pertambahan penerimaan PPN akan berbanding lurus dengan pertambahan persentase peningkatan tarif PPN.

Namun bukan berarti skema ini tidak menimbulkan risiko hilangnya penerimaan. Direktorat Jenderal Pajak melakukan simulasi bahwa dengan tarif PPN untuk barang mewah sebesar 25% maka potensi penerimaan Rp78,96 miliar dan penerimaan yang hilang Rp16,18 miliar.

Kedua, pengenaan tarif PPN yang lebih tinggi terhadap kelompok BKP yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor.

Potensi penerimaan yang dihasilkan dari skema kedua ini tidak jauh beda dibandingkan dengan skema pertama.

“Selisih penerimaan negara akibat peralihan skema ini akan terkompensasi apabila terhadap kelompok BKP yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor dikenakan tarif PPN 25%,” tulis pemerintah.

Dalam kaitan itu otoritas fiskal berdalih, skema perubahan PPnBM ini dapat meningkatkan penerimaan dengan penambahan kelompok BKP yang tergolong mewah dan meredam distorsi ekonomi dan ketidakadilan.

Selain itu juga akan memudahkan petugas pajak dalam melakukan pengawasan, sehingga lebih efektif untuk mencegah upaya penghindaran pajak.

Mengacu pada UU PPN dan PPnBM, yang termasuk kategori barang kena pajak tergolong mewah adalah barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok, dan barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.

Selain itu ada pula barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi, dan/atau barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.

LEBIH SEDERHANA

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan bahwa perubahan skema PPN tersebut bertujuan untuk menciptakan penyederhanaan, baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak.

Dia memastikan untuk barang yang tergolong kategori mewah akan mendapatkan perlakuan tarif berbeda dari pemerintah, sehingga kebijakan yang disusun dalam RUU KUP tersebut juga menciptakan keadilan.

“[Akan dikenakan] tarif yang lebih tinggi untuk beberapa jenis barang atau jasa yang tergolong mewah untuk dikonsumsi,” kata Suryo.

Sebaliknya, untuk barang atau jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat secara luas seperti kebutuhan pokok dan sejenisnya, akan dikenai tarif khusus yang berbeda dengan tarif umum.

Menanggapi hal ini, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan dalam menyusun kebijakan tersebut pemerintah mengabaikan asas revenue adequacy atau optimalisasi penerimaan.

Menurutnya, dasar dari perubahan skema PPnBM ini lebih kepada prinsip keadilan vertikal, di mana pemerintah mendistribusikan beban pajak secara adil terhadap wajib pajak yang memiliki kemampuan untuk membayarnya.

“Kebijakan ini tujuannya bukan untuk menambah potensi penerimaan pajak sesuai asas revenue adequacy. Asas yang dipakai adalah prinsip keadilan vertikal,” kata Prianto.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Share this post

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Need Help? Chat with us