Dinamika pengenaan pungutan atas transaksi digital memasuki babak baru, setelah Negeri Paman Sam berusaha untuk menjegal implementasi pajak digital oleh mayoritas negara Benua Biru. Kini, publik menanti hasil dari pertarungan dominasi antara Amerika Serikat dan Uni Eropa di arena global.
Desakan Amerika Serikat (AS) itu menguat pasca-mendapat dukungan dari G20 terkait dengan prinsip-prinsip perjanjian pajak perusahaan global.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen telah mencapai kesepakatan dengan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20 di Venesia.
Kesepakatan tersebut adalah menyelesaikan rincian rencana pajak global pada Oktober mendatang.
Sementara itu, sejumlah negara di Eropa tengah ancang-ancang untuk mengimplementasikan pajak atas transaksi digital.
Beberapa di antaranya bahkan telah menerapkan skema pungutan pajak sejak tahun lalu.
Setelah berhasil mengambil hati G20, Yellen lantas mendesak Uni Eropa untuk menunda perilisan rencana retribusi digital di seluruh blok pada penjualan secara dalam jaringan (daring) atau online.
Komisi Eropa, badan eksekutif Uni Eropa, telah menunda peluncuran hingga 20 Juli di tengah tekanan untuk menarik atau menunjukkan bahwa aturan itu kompatibel dengan upaya global tentang bagaimana dan di mana mengenakan pajak atas keuntungan perusahaan multinasional.
Sejauh ini, beberapa pejabat Eropa menyatakan sedang mempertimbangkan penundaan lebih lanjut dari setiap proposal retribusi digital hingga musim gugur.
Dalam lobi tingkat tinggi ini, Yellen bertemu dengan sejumlah orang penting di Benua Biru, salah satunya Menteri Keuangan Uni Eropa.
Dia juga akan mengadakan pertemuan terpisah dengan Presiden European Central Bank (ECB) Christine Lagarde, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Kepala Perdagangan Uni Eropa Valdis Dombrovskis, serta Kepala Digital Uni Eropa Margrethe Vestager.
“Terserah Komisi Eropa dan anggota Uni Eropa untuk memutuskan bagaimana melanjutkannya. Akan tetapi negara-negara itu telah sepakat untuk menghindari penerapan di masa depan, dan untuk membongkar pajak yang diskriminatif terhadap perusahaan AS,” kata Yellen, dilansir Bloomberg, Senin (12/7).
Kesepakatan global dirancang untuk menghentikan perusahaan besar memindahkan kantor ke yurisdiksi dengan pajak rendah dan untuk membangun sistem yang lebih adil untuk mendistribusikan hak perpajak-an pada perusahaan multinasional.
Wujud dari keadilan pajak itu adalah pembayaran oleh korporasi kepada yurisdiksi tempat bisnis tersebut dijalankan, bukan di kantor pusat perusahaan tersebut berasal.
Tak hanya meminta penundaan, AS juga berusaha untuk mengakhiri pajak layanan digital yang telah diterapkan beberapa negara Eropa terhadap pendapatan perusahaan teknologi besar seperti Facebook Inc. dan Google Alphabet Inc.
“Diskusi yang kami lakukan di Eropa tentang sumber daya sendiri untuk mendanai rencana pemulihan dan ketahanan.
Kami akan berdiskusi secara internal di komisi tentang bagaimana menghadapinya,” jelas Yellen.
Dia optimistis bahwa Kongres AS akan meloloskan undang-undang musim gugur ini yang diperlukan untuk mengimplementasikan bagian dari kesepakatan yang menyerukan tarif pajak perusahaan minimum setidaknya 15% di seluruh negara.
Dia juga berharap Kongres dapat menangani bagian dari kesepakatan yang berhubungan dengan redistribusi hak pajak segera setelah musim semi 2022.
Sejauh ini, 132 negara anggota Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) telah mendukung konsensus global tersebut.
PERTARUNGAN INTERNAL
Namun para pemimpin Eropa menghadapi pertarungan internal untuk mendapatkan persetujuan yang diadopsi di seluruh blok yang beranggotakan 27 negara itu.
Irlandia, Hungaria, dan Estonia sejauh ini menolak untuk terlibat dalam implementasi pajak minimum.
“Saya benar-benar berpikir kami dapat memperbaiki masalah ini, kami dapat meredakan kesulitan. Ada solusi dan saya yakin Komisi Eropa akan melakukan upaya terbaiknya untuk menemukan solusi dengan pemerintah Amerika,” kata Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire.
Di sisi lain, secara organisasi Uni Eropa mempertimbangkan untuk menunda rencana pungutan digital kontoversial hingga musim gugur tahun ini atau September—November 2021.
Uni Eropa awalnya akan merilis proposal untuk retribusi digital pada pekan ini. Namun rencana itu ditunda hingga 20 Juli.
Hal itu dilakukan dalam rangka meningkatkan prospek kesepakatan reformasi pajak perusahaan global, serta mengikuti kesepakatan yang dicapai menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20.
“Komisi tersebut merefleksikan bagaimana mendukung kesepakatan bersejarah G20. Dalam konteks itu kami sedang mempertimbangkan kemungkinan penundaan proposal terperinci tentang pajak digital hingga musim gugur,” kata seorang pejabat Uni Eropa.
Dia menekankan keputusan akhir belum diambil dan akan dibahas ketika Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen bertemu Yellen.
Sementara itu, Kepala Administrasi Pajak OECD Pascal Saint-Amans menyambut baik rencana penundaan implementasi pajak digital ini.
“Memang lebih bijaksana untuk menunggu kesepakatan diselesaikan dan tidak mengambil risiko gangguan dengan proses legislatif yang rumit yang sedang berlangsung,” kata dia.
Membaca argumentasi tersebut, OECD tampaknya lebih berpihak kepada Negeri Paman Sam. Namun demikian, Uni Eropa memiliki kekuatan yang cukup kuat untuk mengabaikan permintaan AS terkait hal ini.
Terlebih, negara-negara Benua Biru membutuhkan sumber penerimaan baru setelah sepakat untuk menggelontorkan dana senilai 750 miliar euro guna membantu penanganan pandemi Covid-19.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia