Pemerintah menyiapkan konsep pengenaan pajak karbon kepada konsumen orang pribadi atau badan pembeli barang mengandung karbon serta pengguna aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Rencana itu termuat di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang No. 6/2983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Dalam Naskah Akademik RUU KUP yang diperoleh Bisnis, pemerintah berargumen wacana penerapan pajak karbon cukup signifikan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
Menurut perhitungan Dirjen Pajak, estimasi penerimaan pada tahun pertama penerapan pajak karbon yang direncanakan berlaku 2022 ini diperhitungkan mencapai Rp31 triliun dengan tarif Rp75/kg CO2.
Angka itu berasal dari sektor pembangkit listrik sebagai penyumbang terbesar dengan estimasi penerimaan Rp16,35 triliun, kemudian industri Rp10,63 triliun serta sisanya disumbang dari sektor transportasi.
“Subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon, atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon,” kata Dirjen Pajak Suryo Utomo dalam rapat panja dengan DPR akhir pekan lalu.
Lebih jauh dia menjelaskan angka estimasi penerimaan mengacu pada konsumsi bahan bakar pada sektor pembangkit, industri, transportasi, dan plastik pada 2020 dengan asumsi penggunaan batu bara pada sektor tersebut.
Pajak karbon akan dikenakan atas kandungan karbon dan/atau potensi emisi karbon atas usaha dan/atau kegiatan.
Adapun objek pajak karbon yaitu emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup, misalnya emisi karbon hasil pertambangan batu bara.
Namun demikian, pemerintah memastikan pengutipan pajak atas emisi karbon ini berbeda dibandingkan dengan implementasi Pajak Penghasilan atau Pajak Pertambahan Nilai.
Jumlah pajak karbon yang terutang dihitung dengan mengalikan satuan emisi karbon yang dihasilkan berupa karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara dengan tarif atas pajak karbon.
Selain dapat menekan tingkat emisi CO2, penerapan pajak karbon juga dapat menciptakan sumber penerimaan baru bagi pemerintah.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Hendra Sinadia berharap rencana pengenaan pajak karbon dapat ditunda.
Menurutnya, perlu pembahasan mendalam dengan melibatkan pelaku usaha di sektor industri penghasil karbon.
“Pajak karbon pasti akan berdampak, bukan hanya untuk industri batu bara, tetapi juga semua penghasil emisi seperti semen, plastik, keramik, dan lain sebagainya.
Apalagi, sektor kelistrikan pasti,” katanya, Minggu (11/7).Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo mengatakan penetapan karbon sebagai Barang Kena Pajak kurang sesuai dengan esensi perpajakan.
Menurutnya, dengan mempertimbangkan faktor lingkungan, kesehatan, dan misi pengendalian maka lebih tepat karbon dijadikan sebagai Barang Kena Cukai.
“Konsepnya kan cukai, yaitu bagaimana pengendalian terhadap konsumsinya,” kata dia.
SASAR BBM
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menyarankan kepada pemerintah untuk menyusun spesifi kasi sasaran dalam pajak karbon untuk meminimalisasi risiko jangka panjang.
Jika pajak karbon diterapkan di hilir atau di level konsumen, Bahan Bakar Minyak (BBM) akan menjadi BKP. Hal ini dikhawatirkan bakal meningkatkan inflasi dan pada ujungnya menekan daya beli.
Sementara itu, jika diterapkan pada sisi hulu, misalnya pada keuntungan perusahaan migas dan batu bara, maka akan membantu pemerintah dalam mendorong penerimaan pajak tanpa berdampak ke inflasi produk energi.
Terlebih pada saat ini banyak perusahaan mendapatkan swing profit dari lonjakan harga komoditas energi sehingga potensi penerimaan yang bisa digali lebih prospektif.
“Pemerintah harus fokus ke hulu. Kalau ke hilir risikonya besar, apalagi harga minyak mentah sedang naik,” kata dia.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai penerapan pajak karbon berpotensi meningkatkan biaya produksi dan kenaikan harga energi.
Dia menjelaskan sekitar 85%—90% energi di Tanah Air masih dipasok oleh energi fosil yang memang menghasilkan emisi karbon cukup tinggi.
Menurutnya, pemerintah perlu hati-hati dengan dampak turunan dari kebijakan ini, karena sektor utama pembentuk Produk Domestik Bruto adalah energi.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia