tax-audit

Indonesia Minta Bantuan Yurisdiksi Mitra

JAKARTA — Otoritas pajak akan meminta bantuan dari negara atau yurisdiksi mitra untuk melakukan penagihan piutang pajak sebagai upaya meningkatkan penerimaan di tengah resesi ekonomi, serta mengantisipasi praktik pengelakan yang berisiko menggerus basis perpajakan.

Berdasarkan catatan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, total piutang pajak di yurisdiksi lain yang belum bisa ditagih senilai Rp558,03 miliar.

Dari jumlah tersebut, Rp462,81 miliar berada di lima negara mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yaitu Amerika Serikat (AS), Belanda, Belgia, India, dan Vietnam.

Adapun sisanya yakni senilai Rp95,22 miliar berada di 11 negara mitra yang tidak mengambil posisi reservasi atas Pasal Bantuan Penagihan Pajak dalam Convention on Mutual Assistance in Tax Matters (MAC).

Kesebelas negara itu adalah Australia, Denmark, Inggris, Jerman, Korea Selatan, Norwegia, Perancis, Selandia Baru, Spanyol, Swedia, dan Mauritius.

Indonesia sejauh ini memiliki 71 P3B di mana 13 di antaranya mencantumkan Pasal Bantuan Penagihan Pajak.

Selain itu, Indonesia juga merupakan negara penanda tangan Convention on MAC yang mengatur antara lain Pasal Bantuan Penagihan Pajak. Namun, Indonesia mengambil posisi reservasi atas Pasal tersebut.

Mekanisme terkait dengan bantuan penagihan ini diatur di dalam Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang No. 6/2983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Bantuan penagihan diperlukan karena ketika wajib pajak dan/atau penanggung pajak berada di luar wilayah Indonesia dan mempunyai aset yang berada di luar negeri, sehingga penagihan yang dilakukan otoritas pajak dianggap sebagai pelanggaran.

“Pengaturan bantuan penagihan pajak dalam UU Perpajakan di Indonesia akan menjadi dasar hukum bagi Ditjen Pajak meminta atau melaksanakan bantuan penagihan dengan negara atau yurisdiksi mitra secara resiprokal,” tulis Naskah Akademik RUU KUP yang dikutip Bisnis, Senin (5/7).

Sebenarnya, pemerintah telah memiliki instrumen penagihan melalui UU No. 19/2000 tentang Perubahan Atas UU No. 19/1997 tentang Penagihan pajak dengan Surat Paksa.

Akan tetapi, beleid itu dianggap belum mampu mengakomodasi penagihan yang dilakukan oleh otoritas pajak di negara atau yurisdiksi lain.

Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, RUU KUP mengakomodasi kepentingan yang belum tercakup di dalam UU No. 19/2000 sehingga petugas pajak memiliki keleluasaan.

“[UU] KUP pada saat ini belum ada klausul yang boleh kita lakukan. Karena keterbatasan itu kami coba usulkan [bantuan penagihan],” kata dia saat mengikuti rapat Panitia Kerja RUU KUP Komisi XI DPR, Senin (5/7).

Dia menambahkan, negara yang telah menandatangani MAC sepakat untuk saling bantu dalam hal penagihan pajak.

TERKENDALA

Hanya saja, implementasi dari kesepakatan itu terkendala lantaran belum adanya payung hukum yang tegas di Indonesia.

Menurutnya, dalam RUU KUP diusulkan agar Ditjen Pajak memiliki kewenangan untuk melaksanakan atau memberikan bantuan penagihan kepada negara mitra, maupun meminta bantuan penagihan pajak secara resiprokal.

“Aturan teknisnya nanti akan dimuat di dalam Peraturan Menteri Keuangan,” kata dia.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR M. Misbakhun menekankan kepada pemerintah agar RUU KUP dapat mengatasi persoalan pajak yang ada, termasuk penggalian potensi pajak dari seluruh sektor.

Menurutnya, reformasi perpajakan juga harus didorong lewat berbagai unsur. “Kita tidak bisa menghindar dari masalah, oleh karena itu masalah tersebut harus dihadapi,” ujar Misbakhun.

Praktik penghindaran pajak menjadi tantangan bagi otoritas fiskal. Oleh karena itu, pemerintah mesti menyediakan sistem pendataan yang terintegrasi sehingga mampu mendeteksi penghasilan wajib pajak secara riil. Salah satunya data yang berasal dari perbankan.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Share this post

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Need Help? Chat with us