JAKARTA — Yurisdiksi lokal bakal segera memungut pajak atas transaksi dan penghasilan yang dicatatkan oleh korporasi global, termasuk yang beroperasi di sektor digital, menyusul disepakatinya tarif minimum pajak sebesar 15% oleh Organization for Economic Cooperation and Development.
Dengan demikian, perusahaan multinasional yang eksis secara daring seperti Amazon.com, Inc. maupun Google LLC diwajibkan membayar pajak di negara tempat operasional bisnis dijalankan.
Sebanyak 130 dari 139 negara atau yurisdiksi anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menyepakati kerangka kerja baru untuk mereformasi pajak internasional pada pertemuan yang digelar akhir pekan kemarin.
Kesepakatan itu juga memastikan bahwa perusahaan digital akan dikenakan pajak oleh yurisdiksi lokal, bahkan ketika perusahaan membukukan margin keuntungan di bawah 10%.
“Setelah bertahun-tahun melakukan kerja keras dan negosiasi, paket bersejarah ini akan memastikan bahwa perusahaan multinasional besar membayar pajak secara adil di mana pun,” kata Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann dalam kete-rangan tertulisnya, Minggu (4/7).
Dia menambahkan, elemen kerangka kerja yang tersisa, termasuk rencana implementasi, diselesaikan pada Oktober 2021.
Menurutnya, kendati sekelompok kecil anggota belum bergabung dengan konsensus, kesepakatan tersebut telah menjadi dorongan besar bagi rezim pajak global yang baru.
Menteri Keuangan Jepang Taro Aso mengatakan ada beberapa negara yang berselisih. Namun masih ada waktu untuk membawa negara-negara itu bergabung dan tidak menggagalkan jalan menuju kesepakatan akhir.
“Kami akan bekerja dengan hati-hati untuk meyakinkan sembilan negara yang tersisa untuk bergabung dengan kami untuk kesepakatan akhir semua negara pada Oktober,” kata Taro Aso dilansir Bloomberg.
Setelah disepakati oleh OECD, selanjutnya konsep pemajakan global ini akan dibahas lebih lanjut oleh Menteri Keuangan G20 dalam pertemuan yang digelar di Venesia pada pekan ini.
Dalam pertemuan G20, menteri keuangan akan berdiskusi terkait dengan permasalahan yang lebih teknis, termasuk mekanisme dan implementasi kebijakan tersebut.
“Ini akan menjadi awal untuk bagian terakhir, menjelang pertemuan para pemimpin G20 yang dijadwalkan 30—31 Oktober di Roma.
[Pertemuan menteri keuangan di] Venesia memberi mereka kesempatan untuk melihat dengan tepat di mana area kerja yang tersisa,” kata Lilian Faulhaber, profesor hukum di Universitas Georgetown.
Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire berjanji akan menghabiskan waktu sebelum pertemuan dengan rekan-rekannya di G20 dengan menggandakan upaya meyakinkan negara-negara lain untuk bergabung dengan perjanjian bersejarah ini.
Sementara itu, sejumlah negara yang menolak kesepakatan tersebut adalah Hungaria dan Irlandia, yang mana keduanya adalah anggota Uni Eropa.
MENGHAMBAT
Penolakan dari kedua negara itu bakal menghambat implementasi konsensus pajak di negara Benua Biru lainnya.
Seperti diketahui, Uni Eropa hanya akan mengadopsi kebijakan internasional jika mendapatkan dukungan penuh dari 27 negara anggota.
Dengan adanya penolakan ini, maka Irlandia dan Hungaria dapat secara efektif memveto adopsi Uni Eropa atau setidaknya memaksa blok untuk menggunakan langkah-langkah hukum luar biasa sebelum diimplementasikan.
Menteri Keuangan Hungaria Mihaly Varga mengatakan bahwa tarif pajak 15% terlalu tinggi, tetapi pemerintahnya akan melanjutkan pembicaraan konstruktif.
Sementara itu, Menteri Keuangan Irlandia Paschal Donohoe mengatakan bahwa negara tersebut belum siap untuk menyetujui tarif pajak minimum global, meskipun pemerintah tengah mengadakan konsultasi publik.
Ulah dari kedua negara ini mendapat sorotan Amerika Serikat (AS), di mana seorang pejabat senior di Departemen Keuangan mengatakan fakta ini merupakan rintangan yang serius. Namun, Eropa bukan satu-satunya sumber ketidakpastian.
Kongres AS juga dapat menjadi hambatan besar, karena persetujuan legislatif diperlukan untuk meresmikan partisipasi Washington dalam sistem tersebut.
Sementara itu, Partai Demokrat pimpinan Presiden AS Joe Biden memegang mayoritas tipis yang berisiko dalam pemilihan paruh waktu tahun depan.
Kevin Brady, Anggota Republik dari Texas di House Ways and Means Committee, mengeluarkan pernyataan yang menyebut perjanjian OECD sebagai penyerahan ekonomi yang berbahaya.
Menurutnya, menyelesaikan masalah internasional yang luas mendesak bagi ekonomi dunia setelah ketidaksepakatan mengenai pajak perusahaan teknologi dan penetapan tarif minimum meningkat menjadi ketegangan perdagangan pada tahun lalu.
Namun demikian, janji pendapatan tambahan hampir US$150 miliar untuk pemerintah juga membantu mendorong kesepakatan ini karena sebagian besar negara menghadapi kekurangan anggaran besar-besaran setelah pandemi Covid-19.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia