JAKARTA — Pemerintah mengantisipasi celah praktik penghindaran pajak yang masih menganga kendati otoritas fiskal telah menyiapkan program penghapusan sanksi pajak untuk mendorong kepatuhan sukarela atau sunset policy dalam Rancangan Undang-Undang (UU) tentang Perubahan Kelima Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Dalam rancangan beleid itu, pemerintah mengajukan sanksi denda sebesar 15% kepada wajib pajak di Tanah Air yang bersedia untuk mengungkap hartanya.
Tarif tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan denda dalam UU KUP yang saat ini berlaku yakni sebesar 200%.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan, tarif 15% merupakan angka yang ideal dan dalam batas kemampuan wajib pajak.
Jika denda yang dikenakan lebih besar atau mengacu pada UU KUP maupun UU No. 16/2016 tentang Pengampunan Pajak yakni sebesar 200%, maka akan memicu praktik penghindaran oleh wajib pajak.
“Hal tersebut dapat mendorong para wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak,” kata Neil kepada Bisnis, Kamis (1/7).
Menurutnya, tarif superjumbo itu tidak sejalan dengan fokus pemerintah untuk mendukung kegiatan wajib pajak yang tengah berjuang memulihkan operasional bisnis dari dampak pandemi Covid-19 sejak tahun lalu.
Neil menambahkan, di tengah sempitnya ruang fiskal akibat pandemi Covid-19 pemerintah memang membutuhkan setoran penerimaan untuk menjaga keseimbangan sejalan dengan membengkaknya anggaran belanja.
Namun demikian, bukan berarti penggalian potensi penerimaan dilakukan dengan mengabaikan kondisi ekonomi yang sejak tahun lalu berada dalam jurang resesi.
“Pemerintah memang perlu meningkatkan penerimaan negara. Namun dengan cara-cara dan pertimbangan-pertimbangan yang baik dan tidak mematikan usaha para wajib pajak,” ujarnya.
Sekadar informasi, sunset policy bukanlah program baru. Penghapusan sanksi ini pernah dirilis oleh pemerintah pada 2008.
Neil menjelaskan, realisasi Sunset Policy 2008 menyumbang penerimaan sebesar Rp7,46 triliun selama 1 Januari 2008—29 Februari 2009.
Program itu juga menambah 5,63 juta wajib pajak baru dan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan mencapai 804.814 SPT.
“Hal ini menunjukkan bahwa selain menambah penerimaan, pelaksanaan sunset policy juga mampu menambah jumlah wajib pajak baru dan meningkatkan kepatuhan,” kata dia.
CATATAN
Namun demikian, Sunset Policy 2008 meninggalkan sejumlah catatan yang perlu dibenahi.
Di antaranya pengampunan yang hanya meliputi sanksi administrasi, ketidaksiapan sistem administrasi perpajakan, dan jangka waktu pelaksanaan yang terlalu pendek.
Dalam Naskah Akademik RUU KUP, pemerintah pun menyadari kelemahan dari program ini, di mana terdapat kecenderungan jumlah wajib pajak, terutama korporasi, yang memanfaatkan program itu maupun jumlah pelaporan penghasilan dan harta sangat sedikit.
Data kepatuhan pada 2009 menunjukkan bahwa wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT mencapai 47,39% dari total 15,46 juta wajib pajak.
“Hal ini menunjukkan masih rendahnya tingkat kepatuhan dan kemungkinan wajib pajak kembali ke perilaku ketidakpatuhan,” tulis Naskah Akademik RUU KUP yang dikutip Bisnis.
Di samping itu, dari sisi administrasi perpajakan tidak dapat dibedakan antara wajib pajak yang memanfaatkan sunset policy dengan wajib pajak yang menyampaikan SPT Tahunan PPh, sehingga tidak dapat dilakukan monitoring tingkat kepatuhan.
Wajib pajak badan pun tak luput dari persoalan. Pemerintah mencatat, korporasi di Tanah Air cenderung telah melaporkan penghasilan dan/atau harta dengan benar, sehingga yang dilaporkan dalam sunset policy cenderung berupa koreksi fiskal positif.
Tujuan wajib pajak badan mengikuti sunset policy lebih kepada untuk mengambil manfaat tidak akan dilakukan pemeriksaan pajak.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia