pengadilan pajak

Ketidakpastian Pajak Makin Tinggi

JAKARTA — Ketidakpastian dalam proses peradilan perpajakan makin meningkat, menyusul rencana pemerintah untuk memperpanjang tenggat pembayaran sanksi administrasi akibat putusan peninjauan kembali yang menyebabkan kurang bayar pajak.

Rencana perubahan itu tertuang di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Dalam beleid yang saat ini berlaku, denda administrasi wajib dibayarkan oleh wajib pajak saat permohonan banding ditolak oleh Pengadilan Pajak dan menyebabkan kurang bayar pajak.

Adapun dalam RUU KUP, sanksi dikenakan kepada wajib pajak setelah adanya putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan kurang bayar pajak.

Artinya, tenggat waktu pembayaran lebih panjang. Persoalannya, proses peradilan di Tanah Air berbelit. Hal ini lantas menyebabkan ketidakpastian yang meningkat karena wajib pajak harus menunggu hingga putusan Peninjauan Kembali diumumkan.

Di sisi lain, pemerintah juga menghadapi risiko jika rencana ini diimplementasikan, yakni adanya potensi sanksi yang tidak tertagih karena wajib pajak yang bersangkutan telah mengalihkan atau menjual aset yang dimiliki.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengatakan rencana ini menempatkan wajib pajak pada posisi menggantung karena tidak memiliki kepastian hukum.

“Ketidakpastian hukum makin tinggi. Ini membuat wajib pajak posisinya menggantung, tidak jelas, padahal sudah menang di level banding sebelumnya,” kata dia kepada Bisnis, Selasa (15/6).

Menurutnya, seharusnya pajak dikembalikan kepada fungsi utamanya, yakni sebagai instrumen untuk mendulang penerimaan, bukan bertujuan untuk menghukum wajib pajak.

Adapun terkait dengan adanya potensi sanksi denda yang tidak tertagih, menurut Ajib terbuka karena ketidakpastian akan mengakibatkan wajib pajak berkelit.

Terlebih, denda yang diusulkan oleh pemerintah dalam RUU KUP tersebut cukup besar, yakni mencapai 100%. Tarif ini dikeluhkan oleh pelaku usaha yang tengah mengalami kesulitan sejak tahun lalu akibat pandemi Covid-19.

Oleh karena itu, kalangan pelaku usaha meminta kepada pemerintah untuk menurunkan tarif sanksi tersebut dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi terkini dan kemampuan dunia usaha.

“Perlu dipertimbangkan pengenaan sanksi ini,” kata Ajib. Senada, Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin Indonesia Herman Juwono meminta kepada otoritas fiskal untuk mengkaji ulang pengenaan sanksi tersebut.

“Hal yang seperti ini harus diubah. Harus dicari jalan tengah, salah satunya persentase sanksi administrasi dikurangi,” kata dia.

Sementara itu, pemerintah dalam argumentasi RUU KUP yang diperoleh Bisnis menjelaskan, pengenaan sanksi akibat terbitnya putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan kurang bayar pajak ini dilakukan untuk mewujudkan kedudukan yang setara antara wajib pajak dan negara dalam upaya hukum di bidang perpajakan.

Saat ini, terhadap wajib pajak yang permohonan bandingnya ditolak (ketetapan Ditjen Pajak dipertahankan oleh Pengadilan Pajak) dikenai sanksi sebesar 100%.

Pemerintah berdalih, saat ini belum terdapat pengaturan secara tertulis yang menegaskan pengenaan sanksi terhadap wajib pajak terkait dengan diterbitkannya putusan Peninjauan Kembali.

“Sanksi administrasi 100% dapat dikenakan kepada wajib pajak apabila putusan Peninjauan Kembali menyebabkan kurang bayar pajak,” tulis pemerintah dalam argumentasi RUU KUP.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Share this post

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Need Help? Chat with us