diskon ppnbm

Perpanjangan Diskon PPnBM Kendaraan Bermotor Dinilai Tak Signifikan

Pemberlakuan diskon PPnBM yang terlalu lama dapat menjadi bumerang yang berbalik menghambat upaya pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak serta bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk ikut menekan emisi karbon.

Jakarta, Kompas — Rencana pemerintah memperpanjang kebijakan diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dinilai tidak signifikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berjangka panjang. Dukungan demi keberlangsungan industri otomotif lebih tepat jika diarahkan pada insentif yang mendorong produksi dan ekspor ke pasar global.

Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana memperpanjang diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) sebesar 100 persen untuk penjualan mobil 4×2 di bawah 1.500 cc sampai Agustus 2021. Sementara, PPnBM DTP 50 persen diperpanjang menjadi Desember 2021.

Awalnya, diskon PPnBM 100 persen diberikan pada periode Maret-Mei. Besarannya bertahap diturunkan menjadi 50 persen pada Juli-Agustus, dan 25 persen pada Oktober-Desember. Kebijakan itu untuk pembelian mobil penumpang baru yang memenuhi syarat penggunaan komponen produksi lokal minimal 70 persen.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, Senin (14/6/2021) menilai, diskon pajak pembelian mobil baru tidak berdampak signifikan pada pemulihan perekonomian nasional secara berkelanjutan dan berjangka panjang.

“Sifatnya jangka pendek dan bukan permintaan yang sesungguhnya (genuine demand) karena konsumennya adalah masyarakat kelas menengah-atas yang sudah punya kendaraan dan hanya memanfaatkan momen diskon. Animonya cenderung besar di awal saja. Contohnya, (penjualan) per Mei ini saja sudah mulai melambat, padahal sebenarnya diskon masih berlaku,” kata Faisal.

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan, realisasi penjualan mobil dalam negeri pada periode awal pemberlakuan diskon PPnBM memang sempat melonjak tinggi. Namun, trennya konsisten menurun cukup signifikan.

Pada Februari 2021, sebelum diskon berlaku, penjualan dari pabrik ke dealer (wholesale) sempat rendah di angka 49.202 unit. Pada Maret, setelah diskon PPnBM berlaku, realisasi penjualan pun melonjak menjadi 84.915 unit, lalu berkurang menjadi 78.908 unit pada April, dan turun lagi menjadi 54.815 unit pada Mei.

Hal serupa tampak pada penjualan ritel ke konsumen yang menurun pada Mei 2021 menjadi 64.175 unit, dari sebelumnya 79.499 unit pada April 2021. Sejalan dengan tren realisasi penjualan yang menurun, produksi mobil pun ikut turun dari 102.637 unit (Maret) menjadi 93.575 unit (April) dan 63.636 unit (Mei).

Menurut Faisal, diskon pajak yang besar belum tentu efektif menggerakkan konsumsi kelas menengah-atas. Sebab, hambatan mereka dalam berbelanja bukan rendahnya daya beli, melainkan kondisi krisis kesehatan yang masih tidak tertebak.

Meskipun diskon PPnBM sempat mendorong permintaan, hal itu dinilai sementara. Apalagi, jika diskon tidak diiringi dengan laju produksi mobil baru. “Lagipula, porsi konsumsi kendaraan bermotor, khususnya mobil, hanya 3 persen dari total konsumsi masyarakat,” katanya.

Insentif lain

Di sisi lain, pemberlakuan diskon PPnBM yang terlalu lama dapat menjadi bumerang yang berbalik menghambat upaya pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak. Penjualan mobil dalam jumlah banyak juga bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk ikut menekan emisi karbon dan melawan krisis iklim.

Menurut Faisal, kalaupun pemerintah ingin membantu industri otomotif, bentuknya tidak perlu dalam bentuk diskon pajak besar-besaran. Keringanan bisa diberikan ke pelaku industri melalui insentif biaya produksi.

Misalnya, subsidi upah bagi pekerja industri otomotif, atau keringanan tarif listrik. “Jangan terus-terusan memotong PPnBM. Biarkan masyarakat yang mampu membayar pajak, agar pemasukan pajak kita tetap konsisten secara jangka panjang di masa pemulihan ini,” katanya.

Biarkan masyarakat yang mampu membayar pajak, agar pemasukan pajak kita tetap konsisten secara jangka panjang di masa pemulihan.

Aspek lain adalah mendukung kelancaran mengekspor produk otomotif ke luar negeri. Saat ini, industri otomotif dalam negeri masih berorientasi pada penjualan di pasar domestik. Sementara, kinerja industri seharusnya bisa lebih menjanjikan jika penjualan merambah ke pasar global.

“Saat ini, kita 80 persen masih pasar dalam negeri. Kita bisa mencontoh Thailand yang struktur penjualan mobilnya sudah 60 persen ekspor,” kata Faisal.

Faktor lebaran

Secara terpisah, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie Sugiarto mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan pemerintah untuk memperpanjang stimulus PPnBM. Menurutnya, pihak pengusaha, konsumen, dan pemerintah justru sama-sama diuntungkan dengan diskon PPnBM tersebut.

“Bukan hanya pelaku industri yang untung karena kenaikan penjualan mobil yang signifikan, pemerintah juga berhasil meraih pendapatan pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan dari meningkatnya penjualan mobil,” kata Jongkie.

Ia menambahkan, tren penurunan penjualan dan produksi pada Mei 2021 bukan disebabkan oleh pasar yang jenuh atau efek euforia diskon yang hanya terjadi di awal periode. “Kondisi Mei itu menurun karena ada libur Lebaran, sehingga hari kerjanya memang berkurang cukup banyak,” ujarnya.

Tren penurunan penjualan dan produksi pada Mei 2021 bukan disebabkan oleh pasar yang jenuh atau efek euforia diskon yang hanya terjadi di awal periode.

Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebutkan, perpanjangan diskon PPnBM diusulkan karena industri otomotif adalah salah satu penggerak ekonomi. Sektor itu juga melibatkan banyak pelaku usaha lokal dalam rantai produksinya, dari hulu sampai hilir. “Hal ini juga sesuai arahan Presiden. Diperlukan terobosan untuk tetap menciptakan iklim usaha yang kondusif di tengah pandemi,” kata Agus.

Kemenperin mencatat, potensi sektor otomotif didukung oleh 21 perusahaan, dengan total kapasitas produksi mencapai 2,35 juta unit kendaraan per tahun dan serapan tenaga kerja sebanyak 38.000 orang. Selain itu, lebih dari 1,5 juta orang juga bekerja di sepanjang rantai nilai industri otomotif.

Menurut Agus, kebijakan ini tidak tiba-tiba. “Pemerintah memang akan melakukan evaluasi per tiga bulan untuk melihat dampak dari diskon PPnBM DTP untuk pembelian mobil baru ini,” katanya.

Sumber: Harian Kompas

Share this post

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Need Help? Chat with us