Beberapa jenis sembako bisa dimasukkan dalam kategori barang yang tidak kena pajak pertambahan nilai (PPN) dalam rancangan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
JAKARTA, KOMPAS – Untuk memperbaiki kinerja Pajak Pertambahan Nilai pemerintah berencana mengubah skema serta mengkaji ulang jenis barang dan jasa yang dikecualikan dari objek pajak. Barang strategis yang dibutuhkan untuk kepentingan umum berpotensi tetap tidak dikenakan pajak dalam desain baru undang-undang perpajakan.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan pemerintah berinisiatif mendesain ulang rancangan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) secara komprehensif, termasuk di dalamnya mengenai ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Pengecualian PPN yang saat ini terlalu luas ini membuat kita gagal mengadministrasikan serta mengoptimalkan penerimaan pajak secara maksimal. Ini sebenarnya yang ingin kami perbaiki,” ujarnya dalam diskusi virtual yang berlangsung Sabtu (13/6/2021).
Pengecualian PPN yang saat ini terlalu luas ini membuat kita gagal mengadministrasikan serta mengoptimalkan penerimaan pajak secara maksimal. Ini sebenarnya yang ingin kami perbaiki. (Yustinus Prastowo)
Dalam Pasal 4A Ayat (2b) rancangan beleid revisi UU tentang KUP, daftar beberapa jenis barang yang tidak dikenai PPN memang dihilangkan.
Semula, jenis-jenis kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tak dikenakan PPN sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017 yang meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, serta gula konsumsi.
Yustinus menyebut pengecualian yang terlalu banyak dari objek pajak PPN selama ini menyebabkan kinerja pajak ini berada di bawah rata-rata negara Asia.
Kinerja PPN dapat diukur dari rasio C-efficiency. Rasio ini dihitung dengan cara membagi realisasi penerimaan PPN dengan tarif PPN yang dikalikan total konsumsi.
Berdasarkan pemaparan Yustinus, Indonesia saat ini memiliki rasio C-efficiency sebesar 49,35 persen. Posisi ini ada di bawah negara-negara tetangga seperti Vienam, Thailand, dan Singapura. Adapun rata-rata kinerja PPN negara-negara di Asia yakni 49,72 persen.
Rasio C-efficiency Indonesia di bawah 50 persen menunjukkan bahwa jumlah penerimaan PPN sebagai pembilang masih lebih rendah dari penyebut yakni besaran tarif PPN yang dikalikan dengan total konsumsi.
“Pandemi ini merupakan kesempatan yang baik untuk memikirkan ruang optimalisasi penerimaan PPN. Jadi ini bukan kebijakan yang tiba-tiba tetapi sudah ada kajian yang bertahun-tahun dilakukan. Hanya saja, eksekusi selalu tertunda karena butuh payung hukum,” ujarnya.
Yustinus mengatakan, dalam beleid revisi UU tentang KUP, pemerintah berencana untuk mengubah tarif PPN dengan tiga skema tarif yang kemungkinan akan diterapkan, yaitu tarif umum, multitarif, dan tarif final.
Untuk tarif umum, dalam pasal 7 ayat 1 RUU KUP disebutkan, pemerintah akan menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen dari saat ini yang berlaku sebesar 10 persen.
Adapun untuk PPN multitarif yang tertuang dalam pasal 7A ayat 2 akan dikenakan sebesar 5 persen dan paling tinggi 25 persen. Sementara itu untuk PPN final ditetapkan tarif sebesar 1 persen seperti yang saat ini sudah berlaku untuk hasil pertanian tertentu.
Bagi barang yang hanya bisa dikonsumsi kelompok atas, lanjut Yustinus, disediakan ruang untuk dikenakan tarif 15 persen atau 20 persen. Sementara itu, tarif untuk barang yang dibutuhkan masyarakat banyak seperti susu formula yang saat ini dikenakan tarif 10 persen, akan dikenakan tarif 5 persen.
“Kemudian barang-barang lain yang strategis dibutuhkan masyarakat banyak untuk kepentingan umum, bisa dikenakan PPN final katakanlah 1 persen, 2 persen, atau bahkan nanti dimasukkan untuk kategori tidak dipungut PPN sehingga menjadi 0 persen,” kata Yustinus.
Meski begitu, Yustinus masih belum memberikan detail lebih lanjut terkait jenis barang yang termasuk dalam kategori barang-barang strategis yang dibutuhkan masyarakat banyak untuk kepentingan umum. Ia hanya bisa memastikan pengesahan UU tidak akan dilakukan tahun ini.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, menilai rencana perubahan skema PPN sebaiknya dilakukan cukup melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ketimbang menggunakan revisi undang-undang.
Hal tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan kegaduhan dari rencana kebijakan pemerintah yang sifatnya subtansif. Menurut Enny, distorsi informasi yang diterima masyarakat terkait kebijakan pemerintah yang bersifat substansif justru berpotensi mengganggu stabilitas sosial.
“Pengajuan revisi UU KUP, menimbulkan suatu pertanyaan publik. Seharusnya yang menjadi pembahasan hanya pada perubahan jenis PPN dari yang tarifnya tunggal menjadi multitarif. Termasuk juga dengan skema pajak PPN yang sifatnya menjadi final,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengingatkan bila penempatan waktu kebijakan perubahan skema dan tarif PPN tidak tepat, maka akan berpotensi membuat masyarakat menunda belanja dan berhemat.
“Akibatnya ekonomi Indonesia yang sedang tahap pemulihan bisa kembali melemah. Stabilitas sosial juga bisa terganggu karena masyarakat menengah ke bawah merasa pemerintah lebih berpihak terhadap orang kaya dengan memberikan aneka diskon pajak selama masa pandemi,” ujarnya.
Sumber: Harian Kompas