pajak barang mewah

Tarif Wah Barang Mewah

JAKARTA — Otoritas fiskal menetapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai untuk masyarakat kelas atas di kisaran 15%—25%. Tarif tersebut akan dikenakan kepada kelompok yang mengonsumsi barang kena pajak atau jasa kena pajak yang tergolong mewah atau sangat mewah.

Angka tersebut merupakan tarif yang diusulkan oleh pemerintah dalam skema multitarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Ketentuan tersebut masuk ke dalam salah satu substansi Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, kebijakan ini dirumuskan menyusul perubahan PPN dari tarif tunggal 10% menjadi tarif umum sebesar 12%. (Bisnis, 2/6).

Bagi konsumen yang membeli barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang tergolong mewah dan sangat mewah dikenai tarif PPN lebih tinggi, yakni 15%—25%. Kebijakan ini dirumuskan untuk mewujudkan rasa keadilan di kalangan masyarakat.

Artinya, tarif PPN yang diterapkan mengacu pada penghasilan serta pola konsumsi masyarakat di Tanah Air.

Sejalan dengan itu, otoritas fiskal juga mengubah ketentuan di dalam Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Dalam rencana tersebut, PPnBM nantinya hanya berlaku untuk kendaraan bermotor.

Mengacu pada PP No. 61/2020 yang menjadi aturan turunan UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, BKP yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor antara lain rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya.

Kemudian kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak, kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya kecuali untuk keperluan negara.

Selain itu juga kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan air semacamnya terutama yang dirancang untuk pengangkutan orang.

Selanjutnya, kapal feri dari semua jenis kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum, dan yacht kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum, atau usaha pariwisata.

Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo dalam Gambaran Umum Fiskal dan Perpajakan Terkini mengatakan, multitarif telah diterapkan oleh banyak negara. Atas dasar itu kemudian pemerintah mengusulkan skema serupa dalam RUU KUP.

Adapun tarif hanya berlaku kepada masyarakat kelas atas alias berpenghasilan tinggi. “[Ini untuk] memberikan rasa keadilan dengan pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk barang mewah dan sangat mewah,” kata Suryo dalam paparan yang dikutip Bisnis, Rabu (2/6).

Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, Ada tiga faktor yang menjadi alasan pemerintah untuk mengubah skema PPN.

Pertama, target normalisasi defisit anggaran menjadi di bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023 yang memaksa pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengerek penerimaan.

Kedua, tarif yang berlaku saat ini mencerminkan ketidakadilan bagi wajib pajak, karena masyarakat dengan daya beli tinggi membayar pajak sama dengan masyarakat dengan daya beli yang lebih rendah.

Ketiga, untuk mengompensasi hilangnya penerimaan pajak akibat pelonggaran tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang telah dirilis oleh pemerintah pada tahun lalu melalui UU No. 2/2020.

Langkah pemerintah disambut baik para penmerhati pajak yang menilai masyarakat kelas atas tidak akan mempersoalkan tarif PPN yang cukup tinggi untuk sejumlah barang mewah atau sangat mewah.

Pasalnya, kebanyakan barang kena pajak yang tergolong mewah adalah produk hobi yang memiliki pasar tersendiri, dan tidak terpengaruh oleh gejolak ekonomi maupun daya beli.

PENYEDERHANAAN

Semangat implementasi multitarif pada dasarnya adalah menggabungkan PPN dan PPnBM sehingga akan terwujud penyederhanaan administrasi.

Namun demikian, pemerintah perlu untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih simpel untuk memudahkan penarikan maupun penghitungan PPN.

Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet berpendapat, reformulasi tarif PPN ini dilakukan pemerintah sejalan dengan tren global.

Sebab, sejak pandemi Covid-19 banyak negara mulai mengutak-atik tarif pajak untuk mengerek penerimaan di tengah besarnya beban belanja untuk melindungi ekonomi.

Adapun salah satu struktur pajak yang acap kali diubah adalah pajak konsumsi atau PPN. “Tren secara global juga menunjukkan bahwa beberapa pemerintah mulai melakukan transisi kebijakan dari pemberian insentif pajak untuk Covid-19 ke arah penarikan kembali pajak, dan salah satunya yang didorong adalah PPN,” kata dia.

Selain barang mewah, menurutnya barang kena pajak yang bisa diuta-atik oleh pemerintah untuk mendukung upaya peningkatan penerimaan dan menambal celah defisit anggaran adalah sektor komoditas yang dalam beberapa bulan terakhir mengalami perbaikan harga.

“Sektor lain yang masih bisa menyumbang tekait penerimaan PPN salah satunya misalmya hasil komoditas, apalagi jika tren harga komoditas berlanjut pada tahun depan,” ujarnya.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan PPN dan PPnBM pada tahun lalu senilai Rp448,39 triliun, turun sekitar 15% dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang senilai Rp532,91 triliun.

Adapun pada tahun ini, capaian penerimaan PPN dan PPnBM per 30 April lalu mencapai Rp137,54 triliun. Angka tersebut naik sebesar 3,56% dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun lalu.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor tidak bersedia memberikan keterangan terkait dengan perkembangan perumusan skema PPN itu.

“Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan sedang dalam proses kajian dan menunggu pembahasan dengan DPR,” kata dia.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Share this post

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Need Help? Chat with us