Setelah menaikkan tarif dari 10% menjadi 12%, otoritas fiskal berencana menerapkan tarif final dalam skema multitarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada UMKM dan sektor usaha yang tidak memiliki pajak masukan.
Ketentuan ini rencananya akan dimuat di dalam Revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, tarif PPN Final diusulkan sebesar 1% dari perputaran usaha. Tarif itu berlaku bagi pengusaha kena pajak (PKP) dengan peredaran bisnis maksimal Rp4,8 miliar per tahun.
Artinya, pelaku usaha dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar per tahun akan dikenai PPN Final sebesar 1%. Adapun pelaku usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun dikenakan tarif normal, yang dalam skema terbaru diusulkan sebesar 12%.
Klasifikasi pendapatan Rp4,8 miliar per tahun mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan Atas PMK No. 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.
PPN Final diusulkan oleh pemerintah dengan sejumlah pertimbangan, di antaranya memberikan kemudahan, penyederhanaan, serta kepastian hukum.
Sejalan dengan rencana ini, maka wajib pajak UMKM akan menyetorkan pajak ganda, yakni PPN Final sebesar 1% dan Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5%.
Hanya saja, untuk pengenaan PPN Final pelaku usaha hanya memungut pajak yang dibayarkan oleh konsumen.
Berdasarkan catatan Bisnis, usulan PPN Final sebenarnya telah diajukan oleh Dirjen Pajak Kementerian Keuangan pada 2015, tetapi gagal.
Kala itu, otoritas pajak mengajukan tarif PPN Final sebesar 2% bagi wajib pajak UMKM atau usaha yang memiliki omzet Rp4,8 miliar—Rp10 miliar.
Hingga berita ini naik cetak, Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo tidak menjawab pertanyaan yang disampaikan Bisnis terkait dengan alasan pemerintah menerapkan PPN Final ini.
Demikian pula dengan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor maupun Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Ubaidi Socheh.
Namun, dalam paparan Gambaran Umum Fiskal dan Perpajakan Terkini, Suryo mengatakan bahwa kebijakan PPN direformulasi untuk mengompensasi penurunan tarif PPh Badan yang dirilis pemerintah pada tahun lalu melalui UU No.2/2020.
“[Sehingga] perlu menciptakan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan,” kata Suryo dalam paparan tersebut.
Selain itu, rumusan ini juga bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak dan mengurangi distorsi yang disebabkan sistem PPN yang saat ini berlaku, sehingga mengakibatkan daya saing produk dalam negeri kalah dibandingkan dengan produk impor.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menambahkan, PPN Final adalah nama lain dari pengenaan tarif efektif di luar skema normal, yakni pajak keluaran dikurangi pajak masukan. “Ini untuk memudahkan administrasi,” kata Prastowo, Rabu (2/6).
BEBAN KONSUMEN
Sementara itu, kalangan pelaku usaha dan pengamat perpajakan menilai pengenaan tarif final membebani pelaku usaha dan konsumen, serta melenceng dari konsep PPN.
Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin Indonesia Herman Juwono mengatakan dari sisi konsep, PPN tidak mengenal tarif final. Jika skema ini dipaksakan, katanya, maka pemerintah kembali menggunakan skema Pajak Penjualan.
PPN dikenakan kepada produsen dan konsumen, sedangkan Pajak Penjualan hanya dikenakan kepada konsumen akhir. Perbedaan lainnya adalah PPN diterapkan pada berbagai tahap produksi, sedangkan Pajak Penjualan dikenakan pada nilai total pembelian barang.
Dengan demikian, menurut Herman, pengenaan PPN Final akan berpotensi menimbulkan pajak berganda kepada pelaku usaha. Adapun konsumen akan menjadi pihak yang menanggung pemberlakuan tarif ini.
Herman menyarankan kepada pemerintah untuk fokus pada pemulihan ekonomi, khususnya pelaku usaha. Jika ekonomi pulih, maka pemerintah akan memiliki keleluasaan untuk mengutak atik instrumen fiskal.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menjelaskan, dalam PPN tidak dikenal istilah tarif final, karena objek pajak final adalah domain PPh.
Senada dengan Herman, dia menilai rencana beleid ini berpotensi menimbulkan pungutan berganda kepada pelaku usaha. Selain itu, PPN Final juga berisiko memunculkan praktik penghindaran pajak.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia