JAKARTA — Efektivitas dari program Sunset Policy menjadi kunci keberhasilan otoritas fiskal dalam mendulang penerimaan pajak yang sejak tahun lalu tertekan. Taktik ini juga menjadi penentu terwujudnya target konsolidasi fiskal pada 2023.
Pasalnya, potensi pajak yang bakal dipungut oleh pemerintah melalui program yang tertuang di dalam Revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) itu sangat besar.
Berdasarkan penghitungan yang dilakukan Bisnis, potensi penerimaan pajak dari peserta Tax Amnesty 2016 yang belum mengungkap aset per 31 Desember 2015 mencapai Rp1.494,6 triliun—Rp1.245,5 triliun.
Penghitungan tersebut menggunakan asumsi tarif Sunset Policy dan data deklarasi harta luar negeri senilai Rp1.036 triliun yang tertuang di dalam RUU KUP.
Adapun Presiden Joko Widodo dalam pernyataan yang termuat di situs resmi Sekretariat Kabinet tertanggal 25 November 2016 mengatakan harta warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri mencapai Rp11.000 triliun.
Artinya, ada selisih harta senilai Rp9.964 triliun yang belum terungkap setelah program Tax Amnesty 2016 berakhir.
Sementara itu, angka potensi Rp1.494,6 triliun diperoleh dengan menggunakan asumsi pengenaan tarif Pajak Penghasilan (PPh)Final yang direncanakan sebesar 15% dari nilai aset.
Adapun potensi penerimaan senilai Rp1.245,5 triliun berasal dari setoran PPh Final dengan menggunakan tarif sebesar 12,5% dari nilai aset. Khusus untuk tarif PPh Final 12,5% berlaku jika aset wajib pajak diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) yang ditentukan oleh pemerintah.
Selain potensi penerimaan dari peserta Tax Amnesty 2016, pemerintah juga berpeluang menimbun tambahan rupiah dari tindak lanjut implementasi kerja sama pertukaran informasi perpajakan otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEOI).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang diperoleh Bisnis, total nilai data AEOI per 2018 mencapai Rp2.742 triliun.
Setelah dilakukan penelitian, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menemukan selisih setara kas di Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2018 dengan data AEOI senilai Rp670 triliun.
Seperti diketahui, AEOI dimulai setelah Tax Amnesty 2016 berakhir. Dengan kata lain, selisih setara kas yang ditemukan oleh Ditjen Pajak itu diduga diperoleh wajib pajak setelah Tax Amnesty 2016 berakhir.
Hal ini direspons oleh otoritas fiskal melalui pengaturan RUU KUP, di mana pemerintah menyasar aset wajib pajak orang pribadi yang diperoleh pada 2016—2019 dan masih dimiliki sampai dengan akhir 2019, namun belum dilaporkan dalam SPT 2019.
Dari data tersebut, pemerintah berpotensi menerima setoran pajak tambahan antara Rp134 triliun—Rp201 triliun.
Potensi penerimaan senilai Rp134 triliun diperoleh dengan asumsi penerapan tarif PPh Final sebesar 20%, sedangkan Rp201 triliun menggunakan asumsi pengenaan tarif sebesar 30%.
Pemerintah berargumen, kebijakan tarif ini dirumuskan dengan mempertimbangkan sejumlah faktor.
Di antaranya perkembangan pandemi Covid-19, kondisi kepatuhan pajak pascaprogram Tax Amnesty 2016, serta dalam rangka penyehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Mengingat dampak perkembangan Covid-19, kondisi kepatuhan pajak pasca-TA [Tax Amnesty 2016], dan dalam rangka penyehatan APBN, dirasa perlu untuk terus melanjutkan reformasi kebijakan melalui RUU KUP,” tulis pemerintah dalam dokumen rumusan RUU KUP yang dikutip Bisnis, Kamis (27/5).
Sejalan dengan besarnya potensi penerimaan yang bisa dipungut itu, maka tak heran apabila pemerintah berusaha untuk merealisasikan Sunset Policy ini. Terlebih, prospek penerimaan pada tahun ini masih cukup menantang.
DEFISIT ANGGARAN
Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, salah satu tujuan dari Sunset Policy ini adalah untuk mengembalikan defisit anggaran di bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Sejauh ini, pemerintah juga tidak memiliki banyak pilihan untuk mendulang penerimaan di tengah resesi ekonomi. Alhasil, Sunset Policy menjadi jalan pintas yang ditempuh.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pemerintah akan melihat angka-angka dalam postur APBN jangka menengah, yakni 2021 dan rencana pada 2022 untuk mengukur ketahanan fiskal dalam merealisasikan normalisasi defisit tersebut.
“Akan kami lihat jangka menengah yakni 2021 dan rumusan 2022 dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal [KEM-PPKF] 2022, karena itu menjadi landasan apakah 2023 kita seberapa mungkin untuk [defisit] turun di bawah 3%,” kata Suahasil.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penerimaan pajak pada April 2021 adalah sebesar Rp374,9 triliun atau mencapai 30,5% dari target APBN 2021 sebesar Rp1.229,6 triliun.
Capaian tersebut masih mengalami kontraksi sebesar -0,5% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Adapun defisit anggaran tercatat sebesar 0,83% terhadap PDB.
Sementara itu, target defisit yang ditetapkan oleh pemerintah sepanjang tahun ini adalah sebesar 5,7% terhadap PDB.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan, dalam jangka pendek Sunset Policy menjadi opsi terbaik yang bisa ditempuh oleh pemerintah untuk menutup celah defisit.
Jika langkah ini tidak dilakukan, maka pemerintah hanya memiliki satu opsi, yakni kembali menarik utang melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN).
“Ini sepertinya menjadi opsi paling realistis dan instan bagi pemerintah untuk menambah peneriman pajak secara cepat ketika pandemi Covid-19 belum juga berakhir,” kata Prianto.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia