Berdasarkan data Kementerian Keuangan, Tax Amnesty 2016 diikuti oleh 972.530 wajib pajak dengan uang tebusan senilai Rp114 triliun.
Adapun komposisi harta secara neto adalah deklarasi harta dalam negeri Rp3.698 triliun, dan deklarasi harta luar negeri Rp1.036 triliun.
Sementara itu, realisasi repatriasi tercatat hanya senilai Rp147 triliun. Alih-alih memaksimalkan repatriasi, pemerintah justru membuka wacana Tax Amnesty Jilid II melalui Revisi Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Terlepas dari urgensi Tax Amnesty Jilid II yakni untuk mendongkrak penerimaan, gagasan ini mencerminkan pemerintah tidak konsisten. Pasalnya, pada 2016 pemerintah mengatakan Tax Amnesty adalah program sekali seumur hidup.
Di sisi lain, gagasan Tax Amnesty Jilid II juga mengkhianati kesediaan wajib pajak yang telah rela berpartisipasi dalam program pengampunan pajak pada 5 tahun silam.
Tax Amnesty 2016 pun meninggalkan sejumlah catatan. Pertama partisipasi yang sangat minim, yakni hanya hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada 2017 yakni pada angka 39,1 juta.
Kedua uang tebusan yang sangat terbatas. Realisasi senilai Rp114,5 triliun masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun.
Ketiga realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp147 triliun.
Tak heran apabila sebagian Anggota Komisi Keuangan DPR RI menolak usulan Tax Amnesty Jilid II. Andreas Eddy Susetyo, Anggota Komisi XI DPR menilai Tax Amnesty Jilid II meruntuhkan kewibawaan otoritas pajak.
Menurutnya, Tax Amnesty Jilid II bukan jawaban yang tepat atas shortfall pajak. Pemerintah harus mereformasi perpajakan dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan.
“Kebutuhan akan sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel sehingga menghasilkan penerimaan yang optimal jauh lebih penting dan mendesak ketimbang Tax Amnesty,” kata dia.
Di tengah pandemi Covid-19, dia menyarankan pemerintah untuk menyusun Program Pengungkapan Aset Sukarela (Voluntary Disclosure Program) dengan tetap mengenakan tarif pajak normal dan memberikan keringanan sanksi.
Tarif lebih rendah menurutnya dapat diberikan untuk yang melakukan repatriasi dan/atau menginvestasikan dalam obligasi pemerintah.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum memberikan penegasan terkait dengan arah dari Tax Amnesty Jilid II.
Kemarin, Menkeu hanya mengatakan bahwa seluruh jajaran di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan wajib konsisten menjalankan UU Pengampunan Pajak beserta aturan turunannya.
Sumber: Harian Kompas