JAKARTA — Pemerintah perlu memastikan kondisi perekonomian, terutama konsumsi rumah tangga sudah kembali pulih, sebelum mempertimbangkan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai.
Rencana kenaikan PPN dinilai bakal membebani proses pemulihan ekonomi, terutama di sisi daya beli. Rencana tersebut diketahui telah dibahas oleh Kementerian Keuangan bersama dengan pihak terkait lainnya di dalam rapat harmonisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
VP Economist PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede mengatakan kenaikan tarif PPN berpotensi meningkatkan inflasi ke kisaran 3%–4% sehingga bakal berdampak pada tertahannya daya beli masyarakat.
“Kenaikan inflasi ini akan cenderung membatasi daya beli masyarakat sehingga konsumsi rumah tangga juga melambat yang pada akhirnya akan berpotensi membatasi laju pertumbuhan ekonomi tahun 2022,” katanya kepada Bisnis, Senin (17/5).
Menurutnya, peningkatan PPN sebenarnya diharapkan dapat mendorong konsolidasi fiskal sehingga defisit APBN dapat kembali ke level normal, sebesar 3% terhadap PDB pada 2023.
Langkah ini juga diharapkan dapat menunjang perekonomian jangka panjang, seperti belanja infrastruktur dan program prioritas lainnya.
Namun, menurut Josua, alih-alih meningkatkan PPN, pemerintah dapat menaikkan besaran cukai alkohol dan rokok atau menerapkan environmental taxes.
Untuk mengoptimalisasi penerimaan negara, pemerintah pun dapat mengurangi belanja perpajakan, sehingga bisa mendorong penerimaan pajak lebih optimal.
“[Sejalan] dengan upaya konsolidasi fiskal, diharapkan ruang fiskal semakin lebar yang mendorong upaya atau kebijakan reformasi struktural yang pada akhirnya akan mendukung kesinambungan ekonomi dan fiskal dalam jangka panjang,” jelasnya.
Akan tetapi, wacana kenaikan PPN ini diketahui baru pembahasan internal Kementerian Keuangan lantaran Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian merasa belum dilibatkan.
Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan menghormati pembahasan internal di Kemenkeu itu.
“Tapi ini belum ada rakor [rapat koordinasi] antarkementerian untuk membahas ini,” katanya saat bincang-bincang dengan wartawan melalui virtual, Senin (17/5).
Susi menjelaskan bahwa Kemenko Perekonomian akan meminta agenda pertemuan dengan Kemenkeu untuk mengetahui lebih dalam wacana kenaikan PPN karena hal itu berpengaruh ke semua sektor.
Pemerintah dalam menaikkan PPN akan menggunakan skema multitarif. Bakal ada produk barang dan jasa yang besaran penggunaannya naik dan ada pula yang turun. Namun, produknya masih dalam pembahasan.
Mengacu pada UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8/1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran pungutan.
UU tersebut mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5% dan paling tinggi 15%. Saat ini, tarif PPN berlaku untuk semua produk dan jasa, yakni 10%.
KONSULTASI
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa belum adanya koordinasi dengan Kemenko Perekonomian itu menandakan masih kurangnya koordinasi antarlembaga.
Kenaikan PPN seharusnya perlu konsultasi dan kajian lebih mendalam terkait dampaknya terhadap pemulihan ekonomi.
Dengan kondisi ekonomi yang mulai membaik, apabila kebijakan yang dikeluarkan kontradiksi dengan penguatan daya beli, akan membuat daya beli kembali turun. Ujungnya pemulihan kembali sulit tercapai.
“Jadi harus ekstra hati-hati. Koordinasi antar kementerian/lembaga bahkan pemerintah daerah penting karena kebijakan PPN bersifat holistik ke semua jenis barang di Indonesia,” katanya.
Bhima menjelaskan bahwa melihat kondisi saat ini, tidak tepat pemerintah menaikkan PPN. Menurutnya, masih banyak jalan lain tanpa mengganggu daya beli masyarakat.
Akan tetapi itu butuh komitmen dan keinginan pemerintah. Dia mencontohkan negara bisa memajaki aset orang kaya lebih tinggi.
Ini yang dilakukan oleh Amerika Serikat di era Presiden Joe Biden. Saat ini, arah kebijakan perpajakan global adalah menurunkan ketimpangan sekaligus meningkatkan rasio pajak.
Dalam konteks Indonesia, terang Bhima, kontribusi pajak orang kaya di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data Forbes yang merilis 50 orang paling kaya di Tanah Air pada 2019, total harta diestimasi mencapai Rp1.884,4 triliun.
Sementara realisasi pajak penghasilan (PPh) 21 per November 2019 mencapai Rp133,1 triliun yang mencakup seluruh masyarakat dari beragam kelas pendapatan. Rata-rata kontribusi orang kaya terhadap total penerimaan pajak sebesar 0,8% atau Rp1,6 triliun.
Strategi lain yang bisa dilakukan yaitu mengevaluasi semua insentif perpajakan seperti penurunan tarif PPh Badan untuk korporasi yang dianggap menggerus rasio pajak.
Kemudian terhadap pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mobil sampai 2.500 cc. Stimulus tersebut tentu salah alamat.
Padahal, PPnBM hadir untuk mengendalikan barang mewah. Kebijakan tersebut menandakan peme-rintah berpihak pada kelas menengah ke atas.
“Tercatat salah satu yang membuat belanja pajak naik hingga Rp228 triliun pada 2020 karena pemerintah hobi bagi-bagi stimulus pajak ke objek yang salah,” jelasnya.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia