JAKARTA — Pemerintah dinilai menerapkan skema tambal sulam dalam mengelola penerimaan negara. Hal itu tecermin dari rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai pada tahun depan untuk menambal hilangnya penerimaan akibat relaksasi tarif Pajak Penghasilan Badan.
Relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) Badan itu terakomodasi di dalam UU No. 2/2020 tentang Penetapan Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi UU.
Dalam regulasi tersebut, tarif pajak untuk korporasi dipangkas menjadi 22% pada tahun lalu dan tahun ini, kemudian kembali diturunkan menjadi 20% pada tahun depan.
Tarif tersebut berlaku bagi wajib pajak dalam negeri dengan ketentuan berbentuk perseroan terbuka, dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) paling sedikit 40%.
Relaksasi pajak korporasi ini berdampak sangat besar bagi penerimaan negara. Pasalnya, PPh Badan merupakan salah satu kontributor terbesar dalam struktur penerimaan pajak.
Sejalan dengan itu, pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun depan dari yang berlaku pada saat ini yakni sebesar 10%. (Bisnis, 6/5).
Tak hanya itu, pemerintah juga tengah menyiapkan skema multitarif PPN di dalam negeri guna memaksimalkan penerimaan negara di tengah seretnya setoran pajak akibat terdampak pandemi Covid-19 sejak tahun lalu.
Menurut sumber Bisnis, utak-atik tarif PPN dilakukan salah satunya untuk mengompensasi hilangnya penerimaan pajak akibat pelonggaran tarif PPh Badan.
Sekadar informasi, realisasi PPN Dalam Negeri per 31 Maret lalu tercatat mencapai Rp53,75 triliun, dan menjadi penyumbang penerimaan terbesar. Adapun setoran PPh Badan pada periode tersebut Rp20,57 triliun.
Data itu mencerminkan bahwa kedua jenis pajak utama itu memiliki peran yang sangat signifikan terhadap penerimaan negara. Maka, wajar jika pemerintah mengutak-atik keduanya untuk memaksimalkan penerimaan.
Bisnis telah menghubungi Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo dan Plt. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
Namun, keduanya kompak tak bersedia memberikan jawaban terkait dengan praktik tambal sulam tersebut. Termasuk rencana konkret mengenai perubahan tarif PPN pada tahun depan.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir komunitas global menghadapi fenomena race to the bottom.
Artinya, banyak negara berlomba untuk menerapkan tarif pajak korporasi yang rendah untuk menarik minat investasi.
Dinamika global tersebut juga direspons oleh Indonesia dengan melonggarkan tarif pajak bagi korporasi. “Karena sebelumnya memang terjadi fenomema race to the bottom,” kata Fajry kepada Bisnis, Kamis (6/5).
Menurutnya, baik PPh maupun PPN menjadi dua jenis pajak utama yang paling sering diubah oleh pemerintah. Namun Fajry menilai bahwa PPh Badan lebih bersifat distortif dan PPN lebih ideal.
DISKRIMINATIF
Sejumlah pengamat pajak menilai kebijakan pemerintah dalam kedua jenis pajak ini diskriminatif.
Di satu sisi korporasi dimanja karena merasakan berbagai relaksasi tarif yang berlaku sejak tahun lalu dan berlanjut hingga tahun depan. Namun, bagi masyarakat terutama kelas menengah ke bawah, perubahan tarif PPN menjadi beban ganda.
Tarif PPN yang lebih tinggi dikhawatirkan menggerus daya beli dan konsumsi masyarakat yang pada ujungnya akan berisiko menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Ini karena sumber penerimaan makin terbatas karena pandemi dan target penerimaan naik. Maka kuncinya harus mencari sumber penerimaan baru.
Kebijakan ini sekaligus membebani wajib pajak orang pribadi. Selain merasakan kenaikan tarif PPN, wajib pajak orang pribadi juga diharuskan menyetor PPh.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia