Kriteria Wajib Pungut Diperluas

Multitarif Bakal Diterapkan

JAKARTA — Skema multitarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bakal diterapkan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara yang sejauh ini masih terseok-seok. Selama ini, skema PPN yang berlaku di Tanah Air adalah tarif tunggal.

Ketentuan mengenai perubahan dan harmonisasi skema tersebut telah dibahas oleh otoritas fiskal bersama dengan para pihak terkait.

Perubahan ini merupakan bagian dari reformasi fiskal di bidang perpajakan untuk mendukung konsolidasi fiskal yang ditargetkan pada 2023. Adapun rencana implementasi dari skema ini adalah pada tahun depan. (Bisnis, 6/5).

Sumber Bisnis yang terlibat di dalam harmonisasi rumusan kebijakan tersebut mengatakan skema multitarif diterapkan untuk menegaskan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat, karena penentuan besaran tarif didasarkan pada jenis barang.

“Kenaikan tarif PPN yang disampaikan kemarin salah satunya mencakup soal PPN multitarif ini, sehingga lebih ada keberpihakan,” kata sumber tersebut, Kamis (6/5).

Adapun mengenai penerapannya, dia menyimulasikan untuk kebutuhan pokok misalnya, akan dikenai tarif PPN yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan barang jenis lainnya atau barang mewah. Dengan kata lain, tarif yang berlaku lebih beragam.

Hal ini berbeda dibandingkan dengan yang berlaku saat ini, di mana mengacu pada UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, tarif paling rendah adalah 5% dan tarif paling tinggi adalah 15%.

Artinya, jika konsep multitarif diadopsi, pemerintah harus mengatur ulang regulasi yang berlaku saat ini. “Misalnya kebutuhan pokok, itu nanti akan dikenai tarif yang jauh lebih rendah, konsepnya ke depan seperti itu.

Kalau menggunakan skema dalam UU sekarang sulit menerapkan itu,” paparnya. Saat ini, tarif PPN yang berlaku di Indonesia adalah sebesar 10% atau menggunakan tarif tunggal.

Adapun perubahan tarif bisa dilakukan dengan batas atas 15% dan batas bawah sebesar 5%. Sementara itu, penerapan multitarif atau lebih dari satu tarif berdampak pada berkurangnya efisiensi PPN, menyebabkan distorsi kegiatan ekonomi, dan menimbulkan ketidakpuasan dari sisi produsen.

Namun, pemerintah beranggapan bahwa skema tarif tunggal atau single rate yang berlaku pada saat ini justru mempersulit pengawasan.

“Keterbatasan UU [PPN] sekarangkan single rate, sehingga malah muncul banyak skema yang sulit pengawasannya,” kata sumber tersebut.

Sementara itu, Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan Bisnis terkait dengan rencana implementasi multitarif tersebut.

Di sisi lain, pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan, ketimbang mengutak-atik tarif PPN akan lebih baik bagi pemerintah untuk memperluas basis pajak sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan.

“Lebih tepat jika basis pajak diperluas, sehingga nonobjek pajak akan makin kecil. Mengubah atau menaikkan tarif akan membuat distorsi pajak lebih besar dan pasti perilaku wajib pajak akan terpengaruh,” tuturnya.

Pemerintah, menurut Prianto, sebenarnya telah memiliki cakupan yang sangat luas terkait dengan pengenaan PPN. Selain barang konsumsi, pajak jenis ini juga dikenakan untuk penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak hotel, hingga pajak restoran.

Di sisi lain, perluasan basis pajak, menurutnya, juga bisa dilakukan melalui implementasi UU No. 2/2020, terutama yang terkait dengan pajak transaksi elektronik (PTE).

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Share this post

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Need Help? Chat with us