Kenaikan PPN telah dilakukan oleh banyak negara untuk mendulang penerimaan sekaligus mendorong roda perekonomian. Namun, tidak semuanya berhasil menggunakan strategi ini.
Pemerintah telah menegaskan komitmen untuk memulihkan pertumbuhan konsumsi domestik selaku kontributor utama pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Di sisi lain, beredar kabar bahwa pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 konsumsi rumah tangga menopang 57,66 persen distribusi produk domestik bruto (PDB). Artinya, jika konsumsi tertekan, jalan yang akan dilalui untuk pemulihan ekonomi bisa semakin terjal.
Pada 2022, Kementerian Keuangan berencana menaikkan tarif PPN dari yang berlaku saat ini sebesar 10 persen. Kenaikan ini merupakan bagian dari reformasi fiskal di bidang perpajakan untuk mendukung konsolidasi fiskal yang ditargetkan terwujud pada 2023.
Pekan ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers mengatakan, pemerintah akan mengajukan revisi tarif PPN kepada DPR, yang dikaitkan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Langkah tersebut dikhawatirkan tidak selaras dengan ambisi pemerintah yang menetapkan target pertumbuhan ekonomi pada 2022 berada pada kisaran 5,4 persen-6 persen.
Berkaca dari data BPS tentang pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2021 saja, sumber kontraksi dari pertumbuhan ekonomi pada periode ini disumbang oleh komponen konsumsi rumah tangga yang tumbuh negatif 2,23 persen secara tahunan.
Masih lesunya kinerja konsumsi rumah tangga membuat pertumbuhan ekonomi terkontraksi negatf 0,74 persen secara tahunan. Meskipun pada tiga bulan pertama tahun ini ekspor dan impor secara tahunan tumbuh masing-masing 6,74 persen dan 5,27 persen, pertumbuhan ekonomi tetap terkontraksi.
Sumber: Harian Kompas