JAKARTA — Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai pada tahun depan mencerminkan inkonsistensi pemerintah dalam mengatur skema pajak konsumsi. Sebab sebelumnya otoritas fiskal memilih opsi perluasan basis pajak untuk meningkatkan penerimaan dari sektor ini.
Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020—2024, diusulkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pajak atas Barang dan Jasa.
Rencananya, RUU ini akan menggantikan konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang selama ini berlaku.
Adapun urgensi pembentukan RUU Pajak atas Barang dan Jasa itu adalah meningkatkan kepatuhan PPN di Indonesia serta memperluas tax base sehingga dapat meningkatkan penerimaan dari PPN.
“Dengan tax base PPN yang makin luas, potensi penerimaan pajak akan makin meningkat, sehingga kebutuhan belanja APBN dapat lebih dipenuhi dari penerimaan pajak.”
Demikian ketentuan yang tertulis dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020—2024 yang dikutip Bisnis, (5/5).
Perluasan tax base pengenaan pajak konsumsi tersebut dilakukan melalui penataan ulang perlakuan pajak atas barang dan jasa yang lebih membatasi pemberian fasilitas dan pengaturan ulang batasan pengusaha kena pajak.
Alih-alih merealisasikan rencana strategis tersebut, pemerintah justru berencana untuk menaikkan tarif PPN pada 2022. Kenaikan ini merupakan bagian dari reformasi fiskal di bidang perpajakan untuk mendukung konsolidasi fiskal yang ditargetkan pada 2023.
Faktanya, menaikkan PPN memiliki konsekuensi yang sangat besar, yakni makin tergerusnya konsumsi masyarakat yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi nasional. (Bisnis, 5/5).
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan memperluas basis pajak menjadi opsi terbaik yang bisa dipilih oleh pemerintah ketimbang menaikkan tarif PPN yang memiliki risiko besar.
“Lebih tepat jika basis pajak diperluas sehingga nonobjek pajak akan makin kecil. Menaikkan tarif akan membuat distorsi pajak lebih besar dan pasti perilaku wajib pajak akan terpengaruh,” kata dia.
Prianto menambahkan, pemerintah sebenarnya telah memiliki cakupan yang sangat luas terkait dengan pengenaan PPN. Selain barang konsumsi, pajak jenis ini juga dikenakan untuk penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak hotel, hingga pajak restoran.
Di sisi lain, perluasan basis pajak menurutnya juga bisa dilakukan melalui impleentasi UU No. 2/2020 terutama yang terkait dengan pajak transaksi elektronik (PTE).
“PTE ini juga merupakan bentuk perluasan dari pajak konsumsi, tetapi belum diimplementasikan secara penuh,” kata dia.
Sejumlah phak menyayangkan sikap pemerintah yang lebih memilih menaikkan tarif dibandingkan dengan memperluas basis pajak.
Sebab, konsekuensi dari kenaikan tarif ini cukup signifikan bagi perekonomian nasional. Dampak dari kebijakan ini terhadap penggerusan ekonomi pun akan terasa dalam waktu singkat.
“Makanya yang lebih baik adalah meningkatkan basis pajak, bukan menaikkan tarif PPN,” kata dia. Sementara itu, pembahasan RUU tentang Pajak atas Barang dan Jasa sejauh ini masih belum mengemuka.
Pemerintah pun tidak mencantumkan target penyelesaian pembahasan atas RUU ini. Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama juga tidak memberikan jawaban saat dihubungi Bisnis terkait dengan progres dari penyusunan regulasi ini.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia