JAKARTA — Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai sejalan dengan menyempitnya sumber penerimaan negara lantaran ekonomi tertekan oleh pandemi Covid-19 sejak tahun lalu. Kenaikan tarif ini rencananya akan diberlakukan pada tahun depan.
Rancangan kebijakan tersebut tertuang di dalam rencana kerja Kementerian Keuangan untuk tahun anggaran 2022.
Dalam dokumen perencanaan yang diperoleh Bisnis, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan bagian dari reformasi fiskal di bidang perpajakan untuk mendukung konsolidasi fiskal yang digaungkan pemerintah.
Arah dari konsolidasi fiskal tersebut adalah mengembalikan defisit anggaran di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2023. Salah satu strategi yang dilakukan adalah melalui reformasi perpajakan.
Kementerian Keuangan mencatat, reformasi perpajakan dilakukan dengan sehat, adil, dan kompetitif melalui inovasi penggalian potensi untuk peningkatan tax ratio dan menciptakan sistem perpajakan yang sejalan dengan struktur perekonomian.
“[Selain itu juga] melakukan perluasan basis perpajakan antara lain e-commerce, cukai plastik, menaikkan tarif PPN,” tulis dokumen Kementerian Keuangan yang dikutip Bisnis, Senin (3/5).
Mengacu pada UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah memang bisa mengubah besaran tarif PPN.
UU itu mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5% dan paling tinggi adalah 15%. Adapun tarif yang berlaku pada saat ini adalah sebesar 10%. Artinya, tarif baru nanti kemungkinan berkisar antara 11%—15%.
Adapun perubahan tarif tersebut akan diakomodasi dalam regulasi berbentuk Peraturan Pemerintah.
Sementara itu, sejumlah pejabat di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) tidak menjawab pertanyaan yang disampaikan Bisnis terkait dengan pertimbangan dan analisa rencana kenaikan tarif PPN ini.
Pun dengan sejumlah pejabat di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan yang tidak memberikan jawaban terkait dengan Peraturan Pemerintah yang disiapkan untuk mengakomodasi kenaikan tarif itu.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, rencana pemerintah ini mengikuti tren global di mana banyak negara tengah menaikkan tarif PPN.
“Kenaikan ini sebagai kompensasi penurunan tarif Pajak Penghasilan [PPh] Badan,” kata dia saat dihubungi Bisnis.
Hanya saja dia menyarankan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan momentum kenaikan tarif. Jika kebijakan ini dieksekusi dalam waktu dekat, maka ekonomi akan terganggu karena tarif PPN berdampak langsung pada konsumsi.
Dengan kata lain, kenaikan tarif PPN akan diikuti dengan naiknya harga jual barang yang dibeli oleh konsumen. Di tengah lesunya konsumsi akibat lemahnya daya beli ini, kebijakan menaikkan tarif PPN memang sedikit kurang populis.
“Secara umum, memang banyak negara yang berhasil menaikan tarif PPN tanpa mengorbankan ekonomi dan mampu menaikkan penerimaan pajak. Tetapi waktu yang tepat adalah kunci utamanya,” kata dia.
PPN memang menjadi salah satu tulang punggung pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak. Namun, kenaikan tarif ini tidak secara langsung mengerek penerimaan negara karena PPN berkaitan langsung dengan konsumsi atau penjualan barang di pasaran.
Dengan kata lain, jika tarif yang dikenakan cukup tinggi maka masyarakat akan mengurangi konsumsi sehingga berdampak pada terbatasnya akselerasi penerimaan pajak dari sektor ini
Porsi PPN dalam penerimaan negara cukup besar. Per 31 Maret 2021, penerimaan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mencapai Rp96,89 triliun dan menjadi penyumbang terbesar kedua dalam struktur pajak setelah PPh Nonmigas yang tercatat senilai Rp120,72 triliun.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia