JAKARTA — Kepatuhan wajib pajak badan dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan terpantau sangat rendah. Hingga 1 Mei lalu, realisasi kepatuhan wajib pajak korporasi tercatat hanya sekitar 54% atau sebanyak 872.995 dari wajib pajak badan yang wajib menyampaikan SPT yakni mencapai 1,6 juta.
Sepanjang tahun ini, otoritas pajak menargetkan kepatuhan formal tercatat sebanyak 1,2 juta wajib pajak badan atau sebesar 80%.
Akan tetapi, sampai dengan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) pada 30 April lalu realisasi kepatuhan terbilang masih sangat rendah.
Memang wajib pajak badan masih bisa melakukan pelaporan sampai pengujung tahun. Akan tetapi, mengacu pada UU No. 28/2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jika pelaporan melampaui 30 April, wajib pajak badan tersebut dikenai sanksi denda sebesar Rp1 juta.
Dengan kata lain, idealnya tolok ukur performa kepatuhan wajib pajak badan memang mengacu pada jadwal yang telah ditetapkan oleh otoritas pajak, yakni 30 April atau 4 bulan setelah akhir tahun pajak.
Di sisi lain, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor menilai realisasi kepatuhan per akhir bulan lalu itu tetap patut diapresiasi.
Bahkan dia mengklaim pertumbuhan secara year-on-year (y-o-y) untuk pelaporan SPT Tahunan wajib pajak badan tumbuh sebesar 29,25%.
“Itu realisasi kepatuhan per 30 April. Target kepatuhan formal sampai dengan akhir tahun atau 31 Desember 2021 adalah 80%,” paparnya kepada Bisnis, Sabtu (2/5).
Jika ditelisik lebih jauh, pertumbuhan penyampaian SPT wajib pajak badan per 30 April secara tahunan ini tidak terlepas dari relaksasi yang diberikan oleh pemerintah pada tahun lalu.
Sekadar informasi, pada tahun lalu pemerintah memberikan pelonggaran kepada wajib pajak dalam menyampaikan SPT dengan memperpanjang batas akhir pelaporan hingga satu bulan.
Sementara itu, kalangan pelaku usaha mengatakan rendahnya kepatuhan wajib pajak korporasi pada periode kali ini disebabkan karena lesunya iklim bisnis akibat pandemi Covid-19.
“Rendahnya kepatuhan wajib pajak badan karena itu, pandemi yang berlangsung setahun terakhir ini,” kata Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani.
Dia menegaskan pandemi telah memaksa pemerintah untuk menerapkan pembatasan aktivitas sosial selama lebih dari satu tahun. Selain keterbatasan operasional karena pembatasan aktivitas, banyak usaha yang benar-benar tidak bisa beroperasi, dan bahkan terpaksa gulung tikar.
INTERNAL PERUSAHAAN
Adapun pelaku usaha yang masih beroperasi pun, menurut Ajib, lebih fokus pada pemenuhan kewajiban kepada karyawannya, apalagi di tengah momentum Ramadan dan menjelang Lebaran.
“Jadi, jangankan memikirkan kewajiban pajak, memikirkan keberlanjutan usaha dan kewajiban pokok saja sudah jadi beban tersendiri,” ujarnya.
Sementara itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan rendahnya kepatuhan formal tersebut berisiko kuat menggerus prospek penerimaan pajak sepanjang tahun ini.
Faktanya, PPh Badan masih menjadi tulang punggung pemerintah dalam mendulang penerimaan pajak. Artinya, jika kepatuhan wajib pajak badan rendah maka prospek penerimaan pajak bakal makin suram juga.
“Untuk tahun ini, penerimaan PPh Badan akan masih sulit. Terlihat dari banyaknya wajib pajak yang mengambil insentif fiskal PPh 25,” tuturnya.
Oleh karena itu, dia menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan beberapa upaya guna meningkatkan kepatuhan formal wajib pajak badan.
Salah satunya memaksimalkan penggunaan data dari pihak eksternal untuk kemudian dikembangkan oleh Ditjen Pajak. Data tersebut bisa berasal dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP).
“Untuk kepatuhan formal data menjadi kunci. Misalnya, perbanyak ILAP yang menyetorkan data ke Ditjen Pajak,” kata Fajry.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia