Pemerintah akan mengevaluasi kebijakan insentif tax holiday menyusul minimnya wajib pajak dan penanaman modal yang merealisasikan investasinya di Tanah Air setelah mendapatkan persetujuan fasilitas fiskal tersebut.
Setelah mendapatkan tax holiday, dalam waktu maksimal 1 tahun, investor sebagai wajib pajak harus segera merealisasikan investasinya.
Namun, kenyataannya banyak dari mereka yang mengulur-ulur waktu. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat komitmen investasi dari fasilitas tax holiday itu mencapai lebih dari Rp1.000 triliun.
Data tersebut sama dengan penghitungan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan yang sejak 2018—11 Oktober 2020 terdapat 85 penanaman modal dan 82 wajib pajak penerima tax holiday dengan rencana investasi Rp1.261,2 triliun.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan secara inheren pemantauan dan evaluasi merupakan bagian dari desain kebijakan tax holiday.
Oleh sebab itu, evaluasi atas kebijakan tersebut tetap dilakukan. “Idealnya, pemberian insentif ada trade off dengan nilai tambah ekonomi. Itu logika tax holiday,” katanya kepada Bisnis, Senin (26/11).
Dasar pemberian tax holiday adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 130/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan PPh Badan.
Syarat penerima insentif itu di antaranya merupakan industri pionir, berbadan hukum Indonesia, melakukan penanaman modal baru minimal Rp100 miliar, dan memenuhi ketentuan besaran perbandingan antara utang dan modal untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan (PPh).
Persoalannya, beleid itu tidak mengatur sanksi tegas jika investor lalai dalam merealisasikan investasinya. Padahal, sanksi tegas dibutuhkan agar investor tetap berkomitmen dan target realisasi investasi pemerintah tercapai. Namun, sanksi yang diatur hanya berupa teguran yang dikirimkan oleh Ditjen Pajak.
Jika setelah 14 hari sejak surat teguran disampaikan, wajib pajak tidak menyampaikan laporan, dapat diusulkan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Prastowo menambahkan perihal opsi pencabutan fasilitas yang telah diterima itu sejauh ini masih dalam pembahasan. “Ini bagian mitigasi risiko dan fairness,” ujarnya.
Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM Yuliot mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan investor menunda atau menggagalkan realisasi investasinya.
Di antaranya adalah masalah perizinan hingga persoalan administrasi. “Kendala utama investor adalah di pengadaan dan pembebasan lahan serta mendapatkan perizinan berusaha,” katanya.
Dia optimistis investor yang menemui berbagai hambatan itu mampu ditekan, terutama melalui implementasi UU No. 11/2021 tentang Cipta Kerja.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mencatat ada beberapa persoalan dalam tax holiday. Di antaranya standar baku, kriteria penerima, transparansi, akuntabilitas, dan formulasi.
Oleh sebab itu, menurutnya, tax holiday sepatutnya dievaluasi. Apalagi, kebijakan ini berdampak pada pembengkakan belanja pajak (tax expenditure), sehingga pemberian insentif harus jelas dan diperketat.
Pelaku usaha menilai keterlambatan realisasi investasi dari sejumlah korporasi yang mendapatkan fasilitas tax holiday tidak lepas dari dampak pandemi Covid-19.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan pandemi Covid-19 menyebabkan terjadinya masalah teknis dalam rencana korporasi asing maupun dalam negeri untuk investasi.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan BKPM akan fokus memburu investor penerima tax holiday yang lalai merealisasikan investasinya jika penyelesaian investasi mangkrak telah mencapai 100%.
Secara total, ujarnya, realisasi investasi pada kuartal I/2021 sebesar Rp219,7 triliun. Angka ini tumbuh 2,3% secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq) dan 4,3% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Adapun, realisasi penanaman modal asing (PMA) Rp111,7 triliun, tumbuh 0,6% (qtq) dan 14% (yoy). Investasi dalam negeri tercatat Rp108 triliun, tumbuh secara kuartalan 4,2% dan turun 4% dari tahun lalu. “PMA mencapai 50,8% pada kuartal I/2021,” ujar Bahlil.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia