JAKARTA — Setelah menunda cukup lama, pemerintah akhirnya mulai merumuskan skema mengenai implementasi pajak penghasilan bentuk usaha tetap dengan mengacu pada UU No. 2/2020 tentang Penetapan Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Beleid yang diundangkan pada tahun lalu itu memang mengakomodasi sejumlah ketentuan terkait dengan Pajak Penghasilan (PPh) atas Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang memiliki kehadiran ekonomi di Indonesia.
Pajak Transaksi Elektronik (PTE) dikenakan atas transaksi penjualan barang dan/atau jasa dari luar Indonesia melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) kepada pembeli atau pengguna di Indonesia yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri, baik secara langsung maupun melalui PPMSE luar negeri.
Sumber Bisnis mengatakan, saat ini otoritas fiskal tengah menyusun aturan turunan dari UU No. 2/2020 tersebut. “Memang saat ini belum selesai aturan turunannya. Akan tetapi terus disiapkan [oleh Kementerian Keuangan],” katanya pekan lalu.
Ada dua catatan yang mendasari mendesaknya penyusunan aturan turunan mengenai PPh ekonomi digital itu. Pertama, lolosnya Indonesia dalam investigasi pajak digital yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) melalui United States Trade Representative (USTR).
Fakta tersebut menguatkan posisi Indonesia untuk menegakkan kedaulatan pajak. Memang, pemerintah berkomitmen untuk menunggu konsensus yang tengah difasilitasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).
Namun, tidak ada salahnya jika pemerintah menyiapkan rancangan aturan terlebih dahulu sembari menunggu konsensus tercapai.
Kedua, polemik baru yang muncul terkait dengan batasan omzet margin operasional perusahaan yang menjadi sasaran PPh ekonomi digital. Sejauh ini besaran batasan omzet belum diputuskan.
Peristiwa terbaru melibatkan Amazon.com Inc. di mana perusahaan itu mencatatkan margin operasional yang sangat kecil. Adapun AS mengusulkan hanya perusahaan dengan margin operasional besar saja yang dipungut PPh atas ekonomi digital. (Bisnis, 22/4).
Laporan keuangan Amazon dan respons Pemerintah AS itu memicu kembali polemik pembahasan konsensus pajak digital. Dengan kata lain, masa depan konsensus makin tak pasti, sehingga sudah selayaknya pemerintah menyiapkan aturan teknis secara mandiri.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan memang belum ada aturan turunan dari UU No. 2/2020 terkait dengan pengenaan PPh terhadap BUT.
Pemerintah hanya menerbitkan PP No. 30/2020 tentang penurunan tarif PPh bagi wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbatas (PT) sebagai aturan turunan dari UU No. 2/2020. Dalam PP tersebut diatur persyaratan penurunan tarif PPh bagi PT.
“Dalam PP tersebut juga menyebut BUT, yaitu pasal 2 tentang penyesuaian tarif menjadi 22% untuk tahun 2020 dan 2021, dan 20% untuk tahun 2022. Namun aturan yang mengatur secara detail tentang BUT memang belum ada,” ujarnya saat dihubungi Bisnis.
Menanggapi munculnya polemik baru yang ditimbulkan oleh Amazon dan usulan AS tersebut, termasuk rencana penuntasan rumusan aturan yang tengah dibahas, Neil tidak bersedia menjawab secara tegas.
“Nanti kalau memang sudah ada informasi terkait turunan yang detail akan kami sampaikan lagi,” tuturnya.
Konsensus global menghadapi tekanan berat, karena melibatkan banyak negara. Tidak salah jika pemerintah berkomitmen untuk menunggu konsensus.
Akan tetapi, otoritas fiskal tak lantas diam. Pemerintah perlu mengejawantahkan UU No. 2/2020 dalam bentuk aturan teknis.
Penerapan PPh secara sepihak ini, merupakan bentuk dari unilateral meassure yang diterapkan banyak negara. Sebagai negara berdaulat, Indonesia juga wajib menghitung batas toleransi terwujudnya konsensus global.
Yang perlu disiapkan adalah bagaimana aturan pelaksanaannya yang jelas, bagaimana PMSE [perdagangan melalui sistem elektronik] diterapkan, besaran, dan kriterianya.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia