JAKARTA — Otoritas pajak akan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang dalam seluruh kasus tindak pidana pajak. Hal ini dilakukan menyusul makin beragamnya klasifikasi dan modus pencucian uang hasil tindak pidana di bidang pajak.
Berdasarkan laporan berjudul Tipologi Pencucian Uang yang dirilis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pekan lalu, tindak pidana di bidang pajak dilakukan dengan berbagai modus.
Pertama tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), kedua menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, ketiga tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Keempat tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, kelima perbuatan lainnya yang terkait dengan perpajakan.
“Adapun pencucian uang hasil tindak pidana perpajakan dapat melibatkan satu atau lebih yurisdiksi. Pelakunya bisa perorangan atau pemilik usaha ataupun petugas pajak,” tulis laporan PPATK yang dikutip Bisnis, Kamis (15/4).
Contoh tindak pidana perpajakan yang dilakukan menurut PPATK adalah pemalsuan faktur pajak atau bukti transaksi.
Selain itu juga dengan sengaja melaporkan dan membayar jumlah pajak yang tidak sesuai fakta untuk menghindari kewajiban perpajakan, serta pembuatan data wajib pajak palsu untuk memperoleh restitusi pajak.
Atas dasar itulah Ditjen Pajak Kementerian Keuangan akan memaksimalkan pengenaan pasal berganda, yakni tindak pidana perpajakan dan tindak pidana pencucian uang.
Selain UU No. 28/2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dalam menjalankan fungsinya penyidik pajak juga mengacu pada UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Hal ini juga dilakukan untuk mengoptimalkan pemulihan kerugian pendapatan negara melalui penyitaan aset guna memastikan pidana denda dibayar dan masuk ke kas negara.
“Intinya semua tindakan penyidikan pajak akan diikuti dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang,” kata Direktur Penegakan Hukum Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Eka Sila Kusna Jaya kepada Bisnis.
Dia menjelaskan, penyidikan tindak pidana perpajakan yang dilapis dengan tindak pidana pencucian uang butuh sinkronisasi dengan pemeriksaan atas bukti permulaan atau Bukper.
Selain itu, juga membutuhkan harmonisasi dengan pengelolaan barang sitaan, serta dukungan dari forensik digital menyangkut pembuktian dan penelusuran aset.
Sementara itu, dalam upaya pemulihan kerugian pada pendapatan negara, petugas pajak bisa melakukan penyitaan.
Apabila dalam pembuktian di persidangan terbukti bahwa harta kekayaan tersebut tidak berasal dari hasil tindak pidana, maka putusan hakim akan menyebutkan bahwa atas harta kekayaan yang disita tersebut harus dikembalikan.
“Akan tetapi terhadap harta kekayaan tersebut setelah dilakukan pengembalian dapat langsung dilakukan sita eksekusi oleh jaksa apabila terpidana tidak membayar sanksi pidana denda,” jelas Eka.
Sepanjang tahun lalu, PPATK mencatat, potensi tindak pidana pencucian uang di sektor perpajakan mencapai Rp20 triliun.
KANTONG NEGARA
Dari jumlah tersebut, dana senilai Rp9 triliun berhasil masuk ke kantong negara setelah dilakukan pemanfaatan hasil analisis dan pemeriksaan oleh PPATK.
“Selama 2020 pemanfaatan hasil analisis dan pemeriksaan PPATK telah menghasilkan kontribusi ke penerimaan negara sebesar Rp9 triliun,” kata Kepala PPATK Dian Ediana Rae.
Berdasarkan penelusuran Bisnis, catatan sepanjang tahun lalu itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada 2019, tepatnya sejak 1 Januari—11 Desember 2019, dana yang masuk ke negara setelah dilakukan pemanfaatan hasil analisis dan pemeriksaan hanya senilai Rp4,97 triliun.
Kendati berhasil mengamankan dana negara senilai Rp9 triliun, sebenarnya capaian ini bukanlah sebuah prestasi.
Makin meningkatnya dana yang berhasil diamankan justru mengindikasikan bahwa praktik pencucian uang di bidang perpajakan masih marak.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, selama 2016—2020 praktik tindak pidana pencucian uang di bidang perpajakan yang telah P21 atau lengkap dan dilimpahkan ke kejaksaan sebanyak delapan kasus.
Dari jumlah tersebut, lima di antaranya telah diputus bersalah oleh majelis hakim. Adapun pada tahun lalu, pemerintah telah menangani empat kasus tindak pidana pencucian uang di bidang perpajakan dengan nilai kumulatif mencapai Rp8,9 miliar.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia