JAKARTA — Pemerintah di seluruh dunia perlu mengantisipasi risiko dari implementasi pemajakan atas kekayaan. Wacana yang digulirkan oleh International Monetary Fund dan mendapat dukungan dari Perserikatan Bangsa Bangsa ini dinilai dapat meningkatkan praktik penghindaran pajak.
International Monetary Fund (IMF) dalam Fiscal Monitor 2021 mencatat, pemajakan atas kekayaan atau wealth tax bisa menjadi alternatif jika strategi pemerintah dalam mendulang penerimaan melalui Pajak Penghasilan (PPh) seret.
Namun, menurut peraih Nobel bidang Ekonomi Angus Deaton, pajak kekayaan adalah cara yang buruk untuk melunasi utang pandemi karena menciptakan peluang penghindaran.
Selain itu, meski diwacanakan menjadi kebijakan sementara, pajak kekayaan mungkin akan menjadi permanen jika diberlakukan oleh banyak negara atas rekomendasi IMF dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
“Pungutan pada orang berpenghasilan tinggi akan sangat sulit diterapkan dan memberikan insentif besar untuk menghindarinya dan mereka [wajib pajak] pasti akan menghindarinya,” kata Deaton, yang juga profesor di Universitas Princeton, dilansir Bloomberg, Selasa (13/4).
Deaton, penulis buku Deaths of Despair, bersama istrinya yang juga ekonom Anne Case, mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa pajak kekayaan kemungkinan tidak akan bisa diterapkan secara sementara.
Menurut mereka, konsep pungutan ini bisa berubah menjadi kebijakan permanen sebagaimana yang telah terjadi di Inggris.
Sekadar informasi, Inggris memperkenalkan pajak atas gaji untuk mendanai Perang Napoleon pada 1800-an. Hingga kini, pajak tersebut menjadi salah satu sumber pendapatan paling menonjol di negara itu.
Setelah satu dekade melakukan penghematan di Inggris usai krisis keuangan 2009, Deaton juga merekomendasikan pemerintah untuk tidak memotong anggaran layanan sosial.
Dia mengingatkan bahwa penghematan pada pos krusial menciptakan bencana dengan memangkas dana untuk kesehatan dan pendidikan.
Dia memimpin panel ahli di Inggris yang meneliti cara memangkas ketidaksetaraan, di mana kaum muda dan mereka yang kurang berpendidikan makin tertinggal di belakang orang kaya.
Deaton mengatakan tren yang digarisbawahi pandemi sudah berlangsung di Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Pendidikan menjadi variabel yang lebih penting dalam menentukan hajat hidup masyarakat.
Selain itu, pengangguran menjadi kurang relevan sebagai indikator kesehatan ekonomi. Sementara itu penyerapan tenaga kerja dalam fase pemulihan ekonomi belum mampu diwujudkan oleh banyak negara di dunia.
“Dalam ledakan ekonomi, akan selalu ada peningkatan, tetapi [ekonomi] tidak pernah mencapai puncak sebelumnya,” kata Deaton.
Kekhawatiran adanya penghindaran pajak memang cukup beralasan mengingat dalam praktiknya, pemungutan pajak atas kekayaan memang tak mudah.
Pemerintah Argentina misalnya, yang baru-baru ini menerapkan pajak kekayaan di tengah tekanan krisis ekonomi akibat pandemi.
Faktanya, masyarakat kelas atas di negara tersebut tidak lantas membayar pajak yang dibebankan pada mereka. Hingga akhir Maret lalu, pemerintah baru mengumpulkan 6,1 miliar peso atau US$66 juta dalam pajak sekali bayar itu.
Tenggatnya ditetapkan pada 16 April 2021 dengan target total pungutan 300 miliar peso. Artinya hingga akhir bulan lalu, pajak kekayaan yang terkumpul baru 2% dari target.
Pungutan itu dirancang untuk membantu menutupi sebagian biaya Covid-19 yang dikeluarkan pemerintah akibat krisis kesehatan yang dipicu oleh pandemi.
Warga Argentina dengan aset lebih dari 200 juta peso harus membayar kontribusi sebelum 16 April, dengan pungutan berkisar dari 2,25%—5,25% tergantung pada ukuran kekayaan apakah aset yang dimiliki.
Otoritas pajak negara menghadapi kendala dalam menerapkan langkah tersebut. Pemerintah telah menunda tenggat waktu awal dan menawarkan rencana pembayaran kepada sekitar 13.000 orang yang dikenakan pajak.
Sementara itu, Sekjen PBB Antonio Guterres menyerukan kepada negara-negara di dunia untuk memberlakukan pajak kekayaan guna membantu mengurangi ketidaksetaraan global yang diperburuk oleh pandemi Covid-19.
Dalam forum ekonomi dan sosial PBB, dia mengatakan ada lonjakan kekayaan orang-orang paling tajir di dunia senilai US$5 triliun dalam setahun terakhir, bahkan ketika masyarakat yang berada di bawah menjadi makin rentan.
“Saya mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan solidaritas atau pajak kekayaan bagi mereka yang mendapat untung selama pandemi, untuk mengurangi ketidaksetaraan yang ekstrem,” katanya.
Guterres menambahkan, dunia membutuhkan kontrak sosial baru, berdasarkan solidaritas dan investasi dalam pendidikan, pekerjaan yang layak dan berkelanjutan, perlindungan sosial, dan sistem kesehatan.
Adapun pungutan pajak atas kekayaan menurutnya menjadi dasar dari dimulainya pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif di tengah pemulihan ekonomi yang tertekan pandemi.
EROSI PAJAK
Vitor Gaspar, Direktur Departemen Fiskal IMF, mengatakan pemulihan ekonomi dari Covid-19 menawarkan kesempatan untuk membalikkan erosi pajak peng-hasilan pribadi yang dibayar oleh masyarakat kaya.
Salah satu opsi khusus yang tersedia bagi pembuat kebijakan menurutnya adalah kontribusi pemulihan Covid-19 berupa biaya tambahan pada pajak penghasilan pribadi atau biaya tambahan pada pajak pendapatan perusahaan.
“Mengingat beberapa perusahaan telah melakukannya dengan sangat baik dalam hal valuasi pasar saham,” kata Gaspar.
Dia menambahkan, dunia menghadapi tantangan ekonomi yang signifikan dalam pemulihan Covid-19, dengan perkiraan 95 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem pada 2020.
Gaspar juga memperingatkan tentang risiko pelebaran ketimpangan dan perbedaan antara negara maju dan negara kurang berkembang.
Di sisi lain, IMF juga telah menyerukan tarif pajak penghasilan badan minimum global sebagai cara untuk menghentikan perlombaan ke titik terendah dalam perpajakan penghasilan perusahaan.
Menurutnya penting untuk memastikan bahwa pemerintah memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk prioritas pembelanjaan mereka.
“Tarif minimum adalah sesuatu yang kami yakini dapat menjadi sangat penting untuk pembiayaan negara berkembang,” katanya.
Secara terpisah, Menteri Keuangan AS Janet Yellen pada pekan lalu menguraikan usulan konsensus pajak perusahaan minimum di seluruh ekonomi utama dunia.
Upaya tersebut dimaksudkan untuk membantu membayar rencana stimulus Presiden AS Joe Biden sambil menghentikan persaingan dunia dalam pajak yang rendah untuk memikat perusahaan dan investasi asing.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia