Kebijakan relaksasi sektor properti yang dikeluarkan pemerintah telah berjalan sebulan. Namun, tanda-tanda masyarakat menyerbu pasar perumahan belum terlihat nyata. Ada apa?
Hampir semua kalangan memberikan saran bahwa kini waktu yang tepat belanja properti. Alasannya, pemerintah mengeluarkan banyak stimulus khusus guna menggairahkan sektor properti yang lesu darah terimbas pandemi virus corona.
Beberapa stimulus itu adalah keputusan Bank Indonesia (BI) melonggarkan rasio loan to value/financing to value (LTV/FTV) kredit/pembiayaan properti menjadi paling tinggi 100% untuk semua jenis properti.
BI juga menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) menjadi 3,50%. Kebijakan itu akan menyokong kredit properti dengan bunga rendah.
Stimulus terakhir adalah insentif pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah atas pembelian rumah tapak dan rumah susun siap huni atau ready stock.
Sayangnya, kebijakan pemerintah menggelontorkan stimulus dan insentif di bidang properti itu tidak secara otomatis mendongkrak penjualan rumah setelah sebulan berjalan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali mengatakan sistem Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat belum mengakomodasi sejumlah stimulus yang telah digelontorkan pemerintah sehingga akad kredit kepemilikan rumah subsidi (KPR) masih tertahan.
“Ada permasalahan saat ini, di mana ada sekitar 3.100 unit stock rumah subsidi recycle, yang belum bisa diakad KPR subsidinya, akibat sistem di PPDPP,” tuturnya, akhir pekan lalu.
Daniel mengapresiasi sejumlah stimulus dan insentif pemerintah untuk sektor properti. Namun, dia menilai perlu tambahan stimulus agar dapat mendorong pemulihan sektor properti.
Dia berharap pemerintah mengeluarkan stimulus tambahan seperti menyederhanakan syarat dan ketentuan dari PPDPP, dan terbitnya Surat Penegasan Persetujuan Pemberian Kredit (SP3K) dari perbankan.
“Ini usulan kami, sejumlah stimulus yang dinilai masih perlu untuk mendorong industri properti di 2021,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida menilai stimulus yang digelontorkan pemerintah mulai terasa dampaknya kendati belum signifikan.
Dia mengatakan beberapa pengembang anggota REI mencatat kenaikan penjualan properti. Paulus menyatakan REI terus mengintensifkan sosialisasi sejumlah stimulus dan intensif pemerintah ke sektor properti.
Namun, dia menyadari sosialisasi dilakukan ke kalangan menengah dan menengah atas. Alasannya, kalangan menengah dan menengah atas diyakini masih memiliki dana untuk membeli properti.
“Saat ini, yang kami utamakan sosialisai kebijakan stimulus ke masyarakat menengah dan menengah atas, karena mereka yang masih memegang uang. Ini agar properti beserta turunannya berjalan dulu,” ujarnya kepada Bisnis.
Menurutnya, kondisi kalangan masyarakat menengah dan bawah masih mengalami tekanan akibat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pemotongan gaji.
Namun, Paulus meyakini stimulus pemerintah akan berdampak pada sektor properti meskipun kebijakan insentif PPN hanya berlaku 6 bulan.
Dia berharap pemerintah memperpanjang masa insentif PPN tak hanya dilakukan 6 bulan, tetapi juga dapat diperpanjang hingga Desember 2021.
“Ini agar masyarakat dapat membeli rumah baru, ada waktu untuk pembangunannya kalau insentif diberikan sampai Desember. Insentif PPN ini kesempatan yang langka,” ucapnya.
BELUM TAHU
Kesimpulan masih seretnya penjualan properti yang disampaikan oleh Apersi dan REI ternyata sejalan dengan survei awal yang dilakukan Indonesia Property Watch (IPW) pada 25 Maret 2021. IPW mencatat sebanyak 91% masyarakat belum mengetahui adanya insentif perpajakan sektor properti.
Padahal, pemerintah menerbitkan insentif pembebasan PPN untuk pembelian rumah dan apartemen siap huni dengan harga hingga Rp2 miliar mulai 1 Maret-31 Agustus 2021.
Khusus rumah dan apartemen siap huni seharga Rp2 miliar-Rp5 miliar, pemerintah memberikan diskon PPN sebesar 50%. CEO IPW Ali Tranghanda mengatakan banyak masyarakat yang belum mengetahui kebijakan relaksasi di bidang properti.
Menurutnya, sosialisasi dan penyampaian informasi mengenai stimulus tersebut dirasa masih kurang. “Kondisi ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi semua stakeholder properti untuk dapat menyampaikan informasi sesegera mungkin kepada masyarakat,” katanya.
Selain itu, pemahaman masyarakat mengenai kebijakan uang muka (down payment/DP) 0% masih rendah. Hasil survei IPW, hanya 24,4% masyarakat tahu, sedangkan sisanya belum tahu.
Terkait suku bunga rendah, dia menegaskan sebesar 53,8% masyarakat masih merasa bunga KPR tidak berubah. “Lalu sebesar 23,1% menganggap masih tinggi, sedangkan selebihnya merasa suku bunga KPR sudah lebih rendah.”
Padahal, Ali mengatakan para pengembang terus melakukan promosi untuk dapat mengambil manfaat dari kebijakan itu. “Sebesar 69,6% pengembang merasa bahwa tren suku bunga rendah sangat berpengaruh untuk meningkatkan penjualannya,” tuturnya.
Dia juga menyatakan sebagian besar pengembang masih menganggap kebijakan DP 0% belum terlalu berpengaruh. Hal itu karena sebagian pengembang sudah melakukan promosi harga tanpa DP.
Untuk pembebasan PPN, lanjutnya, sebesar 51,9% dari pengembang pun masih merasa belum terlalu mempengaruhi penjualan. Hal itu juga terkait dengan batasan rumah siap huni yang membuat para pengembang yang tidak mempunyai rumah ready stock relatif tak bisa menikmati aturan itu.
Sebaliknya, para pengembang yang mempunyai rumah siap huni menganggap waktunya untuk ‘cuci gudang’. Dia menilai ada yang perlu ditambahkan terkait dengan insentif PPN sehingga tidak terbatas hanya rumah ready stock, tetapi juga untuk penjualan rumah secara inden.
“Dan waktunya [insentif] jangan hanya 6 bulan, kalau perlu sampai akhir tahun, karena pengambilan keputusan membeli properti tidak sebentar.”
Sumber: Harian Bisnis Indonesia