obyek pajak

Cipta Kerja Wajib Jadi Acuan

Bisnis, JAKARTA — Penyusunan dari Rancangan UU tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) perlu mengacu pada substansi yang ada di dalam UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja untuk menjamin kepastian berusaha.

Sebab, ada kekhawatiran RUU tersebut kontraproduktif dengan sistem sentralisasi kebijakan sebagaimana termaktub di dalam UU Cipta Kerja.

Salah satu substansi utama di dalam RUU HKPD adalah mengenai opsen atau pungutan tambahan oleh pemerintah daerah atas pajak dengan persentase tertentu.

Ketentuan ini dinilai bisa kontraproduktif dengan UU No. 11/2020 atau Omnibus Law Cipta Kerja di mana kebijakan, perizinan, hingga perpajakan bersifat tersentralisasi di pemerintah pusat.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengatakan esensi dari UU Cipta Kerja adalah menyederhanakan peraturan.

Akan tetapi, justru di RUU HKPD, ada sejumlah kebijakan, salah satunya opsen pajak, yang menurutnya berisiko kontraproduktif dengan Omnibus Law Cipta Kerja.

Ketentuan tersebut, menurutnya, membuka celah bagi pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota untuk menerbitkan regulasi baru yang berpotensi tidak linier dengan arahan pemerintah pusat melalui UU Cipta Kerja.

“Terlalu banyak regulasi yang bisa dikeluarkan oleh pemerintah daerah akan menjadi sulit membuat kontrol terhadap kemudahan berusaha di daerah,” kata dia kepada Bisnis, Minggu (28/3).

Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan RUU HKPD memang memiliki kaitan erat dengan UU Cipta Kerja.

Oleh sebab itu dia menyarankan kepada pemerintah untuk memberikan penegasan terkait dengan seluruh substansi yang ada di dalam RUU HKPD agar tidak berisiko kontraproduktif dengan UU Cipta Kerja.

Misalnya, hal yang terkait dengan penerimaan asli daerah (PAD), salah satunya opsen pajak, yang menurut Yusuf harus dipastikan oleh pemerintah pusat apakah hanya sekadar pungutan tambahan atau pemindahan objek penerimaan.

“Untuk tidak menghilangkan roh dari omnibus law maka dalam RUU HKPD pemerintah perlu mempertegas apakah opsen ini adalah sifatnya pungutan tambahan atau pemindahan objek penerimaan negara ke daerah,” kata dia.

Menurutnya, pemerintah pusat juga perlu mewajibkan pemerintah daerah untuk melakukan konsultasi saat hendak menerbitkan regulasi teknis sehingga tidak mengganggu iklim investasi.

Sekadar informasi, RUU HKPD disusun untuk mengganti dua UU, yakni UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta UU No. 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

MENYELESAIKAN MASALAH

Beleid ini mampu menyelesaikan permasalahan hukum terkait dengan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah sehingga memberikan kepastian hukum di dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.

Selain itu, menurut Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM Benny Riyanto, RUU HKPD juga bisa menghapus disharmoni dan tumpang tindih pengaturan terkait hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah di masa lalu.

“RUU HKPD diharapkan menjadi UU yang lebih komprehensif untuk menuju tata kelola keuangan pusat dan daerah yang sinergi, terintegrasi, akuntabel, dan transparan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur,” kata dia.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Share this post

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Need Help? Chat with us