Bisnis, JAKARTA — Realisasi nilai ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan dan penagihan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak Kementerian Keuangan sepanjang tahun lalu cukup terbatas, yakni hanya 64,93% dari target. Hal itu tak terlepas dari dampak pembatasan aktivitas sosial sejalan dengan pandemi Covid-19.
Berdasarkan Laporan Kinerja Ditjen Pajak 2020, persentase realisasi itu setara dengan Rp54,23 triliun. Adapun target yang dipatok oleh otoritas pajak adalah Rp83,63 triliun.
Komponen atas target tersebut terdiri dari ketetapan terbit pada tahun berjalan sebesar Rp63,68 triliun dan net realis the value(NRV) senilai Rp19,85 triliun.
Ketetapan pajak terbit pada tahun berjalan adalah jumlah rupiah atas ketetapan pajak hasil pemeriksaan oleh pejabat fungsional pemeriksa pajak (FPP) yang terbit pada tahun berjalan.
Adapun, NRV piutang pajak awal tahun adalah jumlah saldo piutang pajak awal tahun dikurangi dengan piutang yang disisihkan.
Piutang yang disisihkan adalah jumlah penyisihan piutang sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk piutang yang kedaluwarsa dan piutang tidak dapat ditagih karena sebab lainnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor tidak memberikan keterangan terkait dengan tantangan dalam pemeriksaan dan penagihan pajak ini.
Namun dalam Laporan Kinerja 2020, Ditjen Pajak beralasan terbatasnya realisasi itu tak lepas dari dampak pandemi Covid-19 yang membatasi seluruh aktivitas masyarakat, serta banyaknya wajib pajak serta petugas pajak yang melakukan work from home (WFH).
“Kendalanya antara lain pandemi yang memengaruhi kondisi ekonomi wajib pajak, pelaksanaan kegiatan WFH yang mempengaruhi produktivitas pemeriksaan, dan data tunggakan pemeriksaan kurang valid,” tulis Ditjen Pajak dalam laporan yang dikutip Bisnis, Rabu (24/3).
Sejalan dengan pandemi yang berlangsung hampir sepanjang tahun lalu, otoritas pajak melakukan penyesuaian prosedur dalam kegiatan pemeriksaan dan penagihan.
Dalam hal ini, kegiatan pemeriksaan diprioritaskan kepada wajib pajak atau sektor yang tidak terdampak pandemi, di antaranya farmasi, industri pemeliharaan kesehatan, alat-alat kesehatan, industri pangan, serta jasa pengiriman barang dan logistik.
Selain itu juga sektor jasa kesehatan, jasa pengurusan transportasi, jasa telekomunikasi, ekonomi kreatif dan digital, jasa layanan internet, penyedia jasa streaming musik dan film, online collaboration, serta jasa penyedia aplikasi.
“Kegiatan pemeriksaan diprioritaskan juga kepada wajib pajak atau sektor yang terdampak pandemi Covid-19 namun kondisi riil kemampuan ekonominya masih baik,” tulis Ditjen Pajak.
Adapun kegiatan penagihan dilaksanakan dengan prioritas terhadap tiga wajib pajak. Pertama, bergerak di sektor usaha yang masih berjalan dengan baik dan tidak terdampak pandemi Covid-19.
Kedua, surat ketetapan pajak yang akan kedaluwarsa penagihan kurang dari enam bulan. Ketiga, memiliki kemampuan ekonomis untuk membayar utang pajak berdasarkan hasil penelitian dari Kantor Pelayanan Pajak dan atau Kantor Wilayah.
Penentuan prioritas tersebut dilakukan agar kegiatan pemeriksaan dan penagihan dapat tetap berjalan di tengah masa pandemi tanpa memberatkan wajib pajak yang kegiatan usaha dan kondisi ekonominya terdampak negatif.
OBJEK SENGKETA
Ketetapan pajak merupakan objek sengketa. Ketika tidak terealisasi, wajib pajak bisa mengajukan keberatan hingga banding ke pengadilan pajak.
Sementara itu, berdasarkan data Pengadilan Pajak tren sengketa banding dan atau gugatan meningkat. Adapun kegiatan penagihan dapat dilakukan jika sengketa sudah berstatus hukum tetap atau inkrah.
Maksimalisasi nilai ketetapan pajak harus melalui pemeriksaan pajak dan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Nilai ketetapan pajak bisa segera cair jika wajib pajak menyetujui nilai utang pajak tersebut.
Jika tidak setuju, wajib pajak biasanya mengajukan keberatan hingga peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Jadi butuh waktu lama untuk suatu putusan bisa berkekuatan hukum tetap.
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani menambahkan, pemeriksaan adalah bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak atas penerapan sistem self assessment, yang bertujuan menguji kepatuhan wajib pajak.
Menurutnya, ada beberapa alasan yang menyebabkan tidak tercapainya realisasi ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan dan penagihan. Khusus untuk pemeriksaan, menurutnya, ada faktor dari internal dan eksternal.
Dari sisi eksternal adalah adanya upaya dari wajib pajak dalam melakukan pembukuan dan laporan sehingga tidak perlu dilakukan koreksi. Hal ini terkait dengan kepatuhan wajib pajak dalam menjalankan kewajibannya.
“Sisi lainnya, internal Ditjen Pajak bisa mengevaluasi apakah kualitas pemeriksaan sudah baik, semua prosedur sudah dijalani, atau masih ada yang kurang digali,” jelasnya.
Sementara itu, terkait dengan kegiatan penagihan, menurut Ajib, bukan semata upaya yang dilakukan oleh petugas pajak, tetapi juga gabungan antara effort pelaksanaan penagihan dengan kemampuan wajib pajak.
“Jadi, kalau 2020 realisasinya minim, saya pikir itu wajar, mengingat pandemi yang melanda hingga saat ini sehingga bisnis tidak bisa berjalan normal dan pengusaha kehabisan cashflow,” ujarnya.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia