Bisnis, JAKARTA — Serapan insentif fiskal yang dikucurkan oleh pemerintah sepanjang tahun lalu terpantau rendah. Hal ini tercermin dalam laporan belanja perpajakan atau tax expenditure 2020 yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun.
Padahal, sepanjang tahun lalu otoritas fiskal telah memberikan berbagai kemudahan kepada wajib pajak, baik orang pribadi maupun korporasi, sejalan dengan besarnya hantaman pandemi Covid-19 terhadap ekonomi.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang diperoleh Bisnis, tax expenditure sepanjang tahun lalu hanya Rp228 triliun.
Angka tersebut turun sebesar 11,35% dibandingkan dengan capaian pada tahun sebelumnya yang tercatat mencapai Rp257,2 triliun.
Adapun, jenis pajak yang mendapat suntikan dari pemerintah di antaranya pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak penghasilan (PPh), hingga bea masuk dan cukai.
Sementara itu, pemerintah berdalih bahwa angka tersebut masih sementara. Dengan kata lain, realisasi riil bisa lebih tinggi dibandingkan dengan angka sementara.
“Belanja perpajakan tahun 2020 merupakan angka sangat sangat sementara,” tulis Kementerian Keuangan dalam laporan yang dikutip Bisnis, Selasa (16/3).
Secara terperinci, insentif pajak berupa PPh Pasal 21 diberikan dalam rangka meningkatkan daya beli masyarakat.
Adapun insentif untuk jenis pajak PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 orang pribadi, dan restitusi PPN diberikan untuk membantu likuiditas dan kelangsungan dunia usaha.
Sementara itu, wajib pajak yang paling banyak memanfaatkan insentif selama pandemi Covid-19 adalah sektor perdagangan yang sebesar 47%, industri pengolahan 19%, dan sektor konstruksi sebesar 7%.
Pada tahun ini, otoritas fiskal akan melanjutkan pemberian insentif kepada pelaku usaha dengan lebih selektif dan terukur serta memenuhi prinsip timely, targeted, and temporary.
Akan tetapi, pemerintah sejauh ini masih belum memaparkan secara terperinci perkiraan belanja perpajakan, baik untuk 2021 maupun penghitungan pasti realisasi 2020.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan realisasi belanja perpajakan tengah difi nalisasi oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF).
Realisasi tax expenditure pada tahun lalu yang lebih rendah itu mengindikasikan bahwa daya serap wajib pajak sangat terbatas. Ada dua hal yang menjadi penyebabnya.
Pertama keterbatasan anggaran sehingga insentif tidak terserap, dan kedua banyak wajib pajak penerima insentif tidak menyampaikan laporan.
SYARAT & KETENTUAN
Hal ini biasanya disebabkan karena minimnya pengetahuan wajib pajak mengenai syarat dan ketentuan untuk mengakses fasilitas tersebut.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan besaran belanja perpajakan tergantung pada kondisi pandemi di Tanah Air dan efektivitas penanganan oleh pemerintah.
Dia menekankan, membengkaknya tax expenditure berisiko pada defisit anggaran yang kian melebar. Akan tetapi, menurutnya pemerintah tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut mengingat kondisi ini juga dialami oleh banyak negara.
Hal yang terpenting adalah defisit anggaran masih dalam kontrol pemerintah. Dengan kata lain, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 wajib diprioritaskan untuk mengungkit perekonomian nasional.
“Lalu setelah ekonomi kita take off dengan baik baru memikirkan optimalisasi penerimaan pajak untuk mengatasi defisit anggaran sebelumnya,” kata dia.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia