Di tengah pandemi Covid-19 yang belum juga reda, pemerintah bakal memperluas basis pajak di tiga industri pengolahan yakni makanan dan minuman, farmasi, dan alat kesehatan atau alkes, yang bertujuan untuk mendongkrak penerimaan negara pada tahun ini.
Dalam Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pajak 2020 yang diterbitkan belum lama ini, disampaikan bahwa langkah tersebut ditempuh pemerintah dengan mempertimbangkan preferensi dari beberapa literatur ekonomi tentang faktor Industri yang tidak terdampak atau terdampak pandemi Covid-19.
Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan faktor lain di antaranya kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) yang besar yakni lebih dari 50%, nilai potensi dan tax gap yang cukup signifikan, serta memiliki kemampuan membayar yang tinggi.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan, penggalian potensi dilakukan melalui perluasan basis pajak atau tax base di tiga sektor itu.
“Penggalian dapat dilakukan melalui intensifikasi, ekstensifikasi, dan pemanfaatan data,” jelasnya kepada Bisnis, Senin (8/3).
Ekstensifikasi pajak merupakan upaya yang ditempuh pemerintah untuk meningkatkan jumlah wajib pajak, subjek, dan objek pajak. Langkah tersebut bertujuan untuk menambah penerimaan negara.
Adapun intensifikasi adalah meningkatkan penerimaan pajak dari data yang dimiliki oleh Ditjen Pajak.
Saat ini, imbuh Neilmaldrin, pemerintah tengah meng hitung potensi pajak yang akan terkumpul dari perluasan pa jak dari ketiga sektor itu.
Dia memastikan bahwa penggalian potensi itu dilakukan tanpa mengubah besaran struktur tarif maupun threshold omzet pengusaha kena pajak (PKP).
“Soal tarif dan ambang batas omzet PKP masih belum ada rencana [untuk melakukan perubahan],” katanya. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, ketiga sektor ini masuk di dalam industri pengolahan.
Realisasi penerimaan pajak dari industri ini tercatat lebih baik dibandingkan dengan sektor lainnya. Pada bulan pertama tahun ini, penerimaan pajak dari sektor ini tercatat -4,27% (year on year/yoy).
BERAT HATI
Upaya pemerintah untuk meningkatkan sumber penerimaan negara dari sektor pajak ini dinilai wajar oleh Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet.
Sejak tahun lalu, ketiga sektor ini mampu mencatatkan kinerja yang cukup moncer. Bahkan, industri makanan dan minuman terus bertumbuh di atas 5% sepanjang 2015 hingga 2019.
Di tengah pandemi Covid-19 yang melanda seluruh negara di dunia, ketiga sektor tersebut justru menikmati keuntungan. Namun, tambahnya, industri alkes kurang pas jika dijadikan tumpuan penerimaan pajak karena semestinya perlu dilonggarkan pungutan pajaknya guna mendorong proses pemulihan kesehatan pascapandemi.
Senada, para pengusaha merasa berat hati mendengar rencana otoritas pajak itu. Sekjen Gabungan Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia Randy H. Teguh mengungkapkan bahwa secara keseluruhan pertumbuhan industri alkes masih cukup tertekan.
Pertumbuhan industri ini hanya terbatas pada produk yang berkaitan dengan pandemi Covid-19 yakni dari sisi penanganan pasien dan pengadaan barang seperti jarum suntik dan perban.
Sementara itu, sektor alat kesehatan di luar penanganan pandemi seperti kesehatan gigi dan perawatan telinga hidung dan tenggorokan, misalnya, justru tidak dapat menjalankan aktivitas bisnis karena terhalang aturan pembatasan fisik.
Randy mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan normalisasi tarif yang pada tahun lalu mengalami pelonggaran. “Pada prinsipnya jika intensifikasi itu untuk pengusaha yang belum tertib pajak atau komponen yang kemarin direlaksasi akan dikembalikan menjadi normal, ya silakan.
Namun jika sudah tertib, rasanya kok kasihan juga. Jangan sampai seperti berburu di kebun binatang,” ujarnya.
Senada, Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk. Vidjongtius bahkan meminta kepada pemerintah untuk mengkaji ulang rencana itu secara komprehensif dengan mempertimbangkan kondisi pandemi yang saat ini masih melanda Indonesia.
Artinya, dampak yang dirasakan oleh sektor farmasi masih cukup terasa. Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Rachmat Hidayat mengatakan, rancangan kebijakan ini seperti sebuah ganjalan di tengah upaya pemulihan ekonomi, terutama dari sisi konsumsi.
Di sisi lain, Rachmat meng apresiasi langkah pemerintah yang pada tahun lalu memberikan berbagai relaksasi. keringanan bea masuk ataupun pengurangan pajak untuk sektor tertentu.
Keringanan itu tentu saja sedikit banyak membantu arus kas pelaku industri makanan dan minuman. Namun, stimulus itu dirasa cukup singkat sehingga belum banyak pelaku usaha yang belum memanfaatkannya.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia