sengketa pajak

Bukti Ketidakpastian Masih Tinggi

Bisnis, JAKARTA — Di tengah derasnya kucuran insentif untuk meminimalisasi dampak pandemi Covid-19, jumlah sengketa pajak meningkat signifikan pada 2020. Lonjakan ini mengindikasikan bahwa ketakpastian di bidang pajak masih cukup tinggi.

Berdasarkan data Pengadilan Pajak yang diperoleh Bisnis, jumlah sengketa pajak pada 2020 mencapai 16.634 sengketa. Angka tersebut naik sebesar 10,5% dibandingkan dengan realisasi pada tahun sebelumnya yang hanya 15.048 sengketa.

Kondisi ini merupakan sebuah ironi sebab di saat bersamaan pemerintah memanjakan wajib pajak dengan mengucurkan berbagai relaksasi fiskal, baik bagi wajib pajak korporasi maupun orang pribadi.

Sengketa pajak yang dimaksud mencakup gugatan dan banding yang memang merupakan salah satu hak wajib pajak.

Gugatan atau banding ini biasanya dilakukan untuk meminta keterangan perihal keputusan penagihan atau keberatan pajak yang sebelumnya diputus oleh Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.

Banding merupakan upaya hukum dari wajib pajak atau pe-nanggung pajak terhadap suatu keputusan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Adapun, gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak.

Gugatan bisa dilakukan terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo tidak menjawab pertanyaan yang disampaikan Bisnis terkait dengan penyebab naiknya jumlah sengketa pajak sepanjang tahun lalu.

Namun, dalam Laporan Kinerja Ditjen Pajak Kementerian Keuangan 2020 dituliskan bahwa lembaga tersebut berupaya untuk meningkatkan efektivitas penanganan sidang atas sengketa banding dan gugatan yang ada di Pengadilan Pajak.

“Makin banyak putusan yang dapat dipertahankan secara tidak langsung akan mendukung pengamanan penerimaan,” tulis Ditjen Pajak dalam Laporan Kinerja yang dikutip Bisnis, Minggu (7/3).

Amar putusan Pengadilan Pajak yang menjadi ruang lingkup dalam kategori “memenangkan Direktorat Jenderal Pajak”, yaitu menolak, tidak dapat diterima, menambah pajak yang harus dibayar dan dihapus dari daftar sengketa diberi bobot 1.

Adapun amar putusan “mengabulkan sebagian” yang faktanya terdapat sebagian materi sengketa yang permohonan wajib pajak ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak (Ditjen Pajak memenangkan sebagian) diberi bobot 0,5.

Sementara itu, pelaku usaha menilai banyaknya sengketa pajak pada tahun lalu lebih disebabkan karena adanya penumpukan penanganan kasus dan tingginya ketidakpastian dari sisi regulasi maupun administrasi pajak di Tanah Air.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani menjelaskan, sengketa ditangani pengadilan ketika telah melewati sejumlah proses panjang.

Di antaranya proses di tingkat pelaporan pajak, penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), pemeriksaan, keberatan, lalu banding di Pengadilan Pajak, dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung (MA).

Menurutnya, peningkatan sengketa ini mengindikasikan bahwa hasil pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh petugas pajak ma-sih banyak yang belum dapat diterima oleh wajib pajak, dan belum memenuhi rasa keadilan wajib pajak.

“Baik itu karena dispute penerapan peraturan ataupun masalah penetapan angka pajak yang masih harus dibayar oleh wajib pajak,” kata Ajib.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Share this post

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Need Help? Chat with us