Bisnis, JAKARTA — Pemberian insentif pajak penjualan atas barang mewah atau PPnBM diyakini mampu mendorong penjualan mobil pada tahun ini. Namun, kenaikan permintaan terhadap komponen diperkirakan masih membutuhkan waktu.
Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Industri Kecil-Menengah Komponen Otomotif (Pikko) Wan Fauzi mengatakan hingga saat ini order komponen mobil masih belum melaju seperti saat prapandemi Covid-19.
Komponen industri otomotif pun baru mulai digerakkan oleh komponen motor yang saat ini juga harus teradang kelangkaan barang dan kenaikan harga.
Menurut Fauzi, kenaikan harga tersebut kini telah makin menguras arus kas perusahaan komponen yang selama ini sudah seret akibat kehilangan order sejak tahun lalu karena pandemi Covd-19.
“Jadi, penjualan mobil nanti juga kemungkinan hanya menghabiskan stok tahun lalu yang masih menumpuk di gudang. Kalau produksi baru lagi, paling setelah lebaran atau 3 bulan lagi.
Tahun lalu waktu stop produksi mobil, stok material masih banyak,” katanya kepada Bisnis, Minggu (14/2). Fauzi pun berharap agar pemerintah tidak hanya fokus pada upaya meningkatkan penjualan mobil saja.
Pasalnya, menurutnya, industri komponen saat ini masih cukup tertekan dan belum ada kebijakan yang membantu para pelaku usaha secara signifikan. Alhasil, tidak sedikit pebisnis yang menawarkan asetnya untuk menjaga kelangsungan pabrik.
“Perbankan tidak mau memberi kredit lagi, padahal kalau takut kami kesulitan bayar ke depan, bisa dengan skema membiayai agunan kami, yakni material yang kami beli untuk produksi komponen,” ujar Fauzi.
Di sisi lain, pelaku usaha pun enggan mencari pembiayaan kepada lembaga nonbank yang bunganya cukup tinggi. Adapun, Kementerian Perindustrian sempat mencatat industri pendukung otomotif menyumbang jumlah pekerja lebih dari 1,5 juta orang dan kontribusi produk domestik bruto (PDB) senilai Rp700 triliun.
Kontribusi industri bahan baku oleh industri komponen lokal tercatat sekitar 59% pada industri otomotif. Sejumlah sektor pendukung industri otomotif mencakup pelaku industri tier II dan tier III yang terdiri dari 1.000 perusahaan dengan 210.000 pekerja, pelaku industri tier I yang terdiri dari 550 perusahaan dengan 220.000 pekerja, perakitan 22 perusahaan dan dengan 75.000 pekerja, dealer dan bengkel resmi 14.000 perusahaan dengan 400.000 pekerja, serta dealer dan bengkel tidak resmi 42.000 perusahaan dengan 595.000 pekerja.
Senada, kalangan industri ban sebagai penunjang otomotif pun masih sanksi insentif PPnBM untuk penjualan mobil bakal memberikan dampak yang signifikan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) Azis Pane menilai di tengah daya beli yang terimpit pandemi Covid-19, konsumsi masyarakat untuk produk-produk otomotif diperkirakan masih sulit terungkit.
Menurutnya, kendati bakal ada sedikit peningkatan pada level produksi, namun kondisi industri sudah telanjur tertekan cukup dalam sehingga sulit untuk bangkit.
Sejumlah pabrik pun telah melakukan efisiensi berupa pengurangan kar yawan. Adapun, pada awal pandemi, utilisasi industri ban tercatat anjlok hingga 40%.
Kondisi tersebut sedikit membaik menjadi 65% pada Oktober 2020 dan terus berlanjut menjadi sekitar 70% pada akhir tahun lalu. “Kami masih tidak bisa lari dari kenyataan dengan melihat order yang lambat.
Misalnya dari produksi 100 ban, permintaannya hanya 40 ban, belum lagi bahan baku yang sulit dan ekspor yang mengalami kendala kontainer,” ujarnya kepada Bisnis.
Dia pun mengungkapkan secara umum tekanan yang dialami industri ban tak hanya dialami produsen lokal, tetapi juga global. Alhasil, kondisi diproyeksikan mulai pulih signifikan pada Maret 2022.
Namun, jika pada Lebaran tahun ini daya beli masyarakat sudah mulai terungkit, tidak menutup kemungkinan pemulihan industri ban akan berjalan lebih cepat.
BELUM EFEKTIF
Sementara itu, Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan insentif PPnBM kurang efektif untuk menggairahkan industri otomotif dan penunjangnya.
Menurutnya, hal itu sekadar mendorong penjualan mobil dalam jangka pendek, padahal industri otomotif membutuhkan dorongan besar untuk benar-benar bangkit pada tahun ini.
“Pemerintah juga menurut saya perlu hati-hati juga karena selain efektivitasnya masih dipertanyakan, ini juga akan menggerus pendapatan negara ke depan. Menurut saya sayang sekali,” katanya kepada Bisnis.
Dia menilai, kebijakan paling efektif untuk saat ini kembali ke penanganan pandemi Covid-19. Pasalnya, jika penyebaran virus corona dapat dikendalikan, aktivitas industri pun akan meningkat.
Jika industri cepat pulih, imbuhnya, akan memberikan benefit terhadap tenaga kerja di dalamnya. Alhasil, daya beli masyarakat pun akan turut terdongkrak.
“Kalau pemerintah ingin mengejar perbaikan daya beli middle income, perlu diberikan insentif untuk mendukung agar kebutuhan sehari-harinya terjaga. Misalnya, tidak membebani dengan biaya listrik dan internet mahal,” ujarnya.
Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Fajar B. Hirawan menilai kebijakan diskon pajak mobil baru diarahkan untuk membangun kembali industri otomotif yang terkontraksi cukup dalam sepanjang 2020 serta menghidupkan kembali usaha kecil dan menengah (UKM) yang telah berpartisipasi dalam rantai pasok industri tersebut.
“Namun, yang menjadi pertanyaan apakah relaksasi PPnBM akan efektif untuk mendorong sisi permintaan, yakni daya beli dan penawaran, yakni produksi?” ujar Fajar kepada Bisnis.
Fajar mengemukakan saat ini dari sisi daya beli, hampir semua lapisan masyarakat cenderung menunda konsumsi barang yang bukan prioritas atau basic needs, seperti kendaraan bermotor. Jika memang harus membeli kendaraan, mereka cenderung lari ke pasar mobil bekas, bukan ke dealer mobil baru.
“Jadi, relaksasi PPnBM ini memang cukup promising bagi industri otomotif untuk kembali bangun dari kontraksi, tetapi di sisi lain pemerintah juga perlu memberikan kepastian kebijakan yang mampu mendorong daya beli masyarakat,” tuturnya.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia