JAKARTA — Performa pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak kembali menghadapi tantangan, menyusul dipangkasnya besaran sanksi kepada wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dan denda atas upaya hukum saat keputusan pengadilan menguatkan ketetapan otoritas pajak.
Keringanan sanksi administrasi ini mencerminkan bahwa pemerintah hanya berharap pada kepatuhan sukarela wajib pajak ketimbang memaksimalkan mekanisme penagihan piutang yang ditetapkan melalui Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengatur sanksi pemeriksaan dan sanksi atas wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) hanya mengacu pada bunga per bulan dan tarif sebesar 75%.
Adapun di dalam ketentuan sebelumnya yakni UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), besaran sanksi ditetapkan sebesar 50% untuk Pajak Penghasilan (PPh) kurang bayar dan 100% untuk PPh kurang dipotong, PPh dipotong tetapi tidak disetor, serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kurang dibayar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pelonggaran besaran sanksi pada saat pemeriksaan dan sanksi dalam upaya hukum dilakukan untuk menciptakan aspek keadilan dan kepastian hukum.
“Aturan ini memberikan gambaran mengenai sanksi yang lebih rendah. Tetapi tetap memberikan pencegahan terhadap berbagai upaya penghindaran pajak,” kata Menkeu, pekan lalu.
Dia menambahkan, perubahan ini juga mengacu pada UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Salah satunya dihapusnya Pasal 13A UU KUP yang mengakomodasi pengenaan sanksi administrasi sebesar 200%.
Di satu sisi, keringanan sanksi ini memang mampu menciptakan keadilan hukum bagi wajib pajak yang melakukan pelanggaran di dalam kewajiban perpajakannya.
Namun di sisi lain, pelonggaran ini membuka celah penghindaran dan berisiko menggerus tingkat kepatuhan wajib pajak yang sejauh ini masih belum memuaskan.
Berdasarkan data Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, tercatat hanya Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan yang mencatat tingkat kepatuhan memuaskan yakni mencapai 85,42% pada tahun lalu.
Sementara itu lainnya terpantau sangat rendah, yakni Wajib Pajak Badan yang hanya 60,17% dan Wajib Pajak Orang Pribadi Nonkaryawan alias masyarakat kelas atas hanya 52,45% sepan-jang tahun lalu.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menambahkan keringanan sanksi disusun untuk mendorong tingkat kepatuhan wajib pajak.
Dengan kata lain, pemerintah tidak lagi menjadikan sanksi atau denda sebagai mekanisme untuk memaksimalkan aktivitas pengawasan atau penindakan.
“Semangat UU ini [HPP] ingin mengembalikan fungsi sanksi administrasi untuk mendorong kepatuhan, bukan menonjolkan hukuman,” katanya kepada Bisnis.
Menurutnya, pengenaan denda yang berat justru akan berdampak pada melejitnya tunggakan piutang pajak dan berimplikasi pada rendahnya kepatuhan wajib pajak.
Pengamat Ekonomi IndiGo Network Ajib Hamdani mengatakan kepatuhan hanya bisa ditingkatkan dengan pengawasan yang lebih ketat.
Terkait dengan moncernya tingkat kepatuhan kelas karyawan menurutnya lebih disebabkan karena vitalnya peran perusahaan sebagai pemotong setoran pajak.
Pekerjaan rumah pemerintah menurutnya ada pada peningkatan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Nonkaryawan dan Wajib Pajak Badan.
“Tingkat kesadaran dan kepatuhan pembayaran pajak masih perlu diawasi dan ke depannya ditingkatkan untuk semua lapisan,” ujarnya.
Sumber: Harian Bisnis Indonesia